Kamis, 25 Juni 2015

Sejarah Pemikiran Hukum Umar Bin Al-Khattab

Oleh: Baktiar Nurdin

A.       Pendahuluan
Dalam sejarah Islam, tak ada seorang yang begitu sering disebut-sebut namanya setelah Rasulullah saw. seperti nama Umar Ibn Al-Khattab. Nama itu disebut-sebut dengan penuh kagum dan sekaligus rasa hormat bila dihubungkan dengan segala yang diketahui orang tentang sifat-sifatnya dan bawaannya yang begitu agung dan cemerlang. Apabila orang berbicara tentang zuhud (meninggalkan kesenagan dunia) pada orang itu mampu hidup senang, maka orang akan teringat pada zuhud Umar. Apabila berbicara tentang keadilan tanpa cacat, orang akan teringat pada keadilan Umar. Apabila berbicara tentang kejujuran tanpa membeda-bedakan keluarga dekat atau bukan maka orang akan teringat pada kejujuran Umar. Dan jika ada yang berbicara tentang pengetahuan dan hukum agama yang mendalam, orang akan teringat pada Umar.
B.       Pembahasan
1.        Biografi Umar bin Al-Khattab
Beliau adalah Umar bin al-Khattab bin Nufail bin Adi bin Abdul Uzza bin Riyah bin Abdullah bin Qurth bin Razah bin Adi bin Ka’ab bin Lu’ai,[1] Amirul Mukminin, Abu Hafs al Qurasyi, al-Adawi, Al-Faruq.[2]
Dia masuk Islam pada tahu ke enam kenabian, saat itu ia berusia 27 tahun. Dia masuk Islam tatkala jumlah sahabat yang memeluk Islam berjumlah sekitar empat puluh orang laki-laki dan sebelas wanita, atau sebagaimana disebutkan dalam riwayat lain, yaitu tiga puluh Sembilan laki-laki dan dua puluh tiga wanita, sebagaimana juga disebutkan dalam sebuah riwayat jumlahnya dalah empat puluh lima orang laki-laki dan sebelas perempuan. Tatkala dia menyatakan keislamannya, Islam semakin kokoh di kota Makkah dan kaum muslimin bersuka cita dengan keislamannya.[3] Beliau adalah sahabat Nabi SAW. terdekat dan khalifah kedua al-Khulafa’ al-Rasyidun.[4]
Ketika Nabi Muhammad SAW. diangkat sebagai Rasul yang terakhir menyampaikan Islam kepada manusia, maka Umar termasuk yang paling sengit memusuhi Islam dan dikenal dengan tabaiatnya yang keras, di mana kaum muslimin yang lemah menerima darinya berbagai bentuk gangguan dan siksaan. Umar menyatakan keislamannya pada tahun ke 6 dari kenabian.[5] Keislaman Umar berawal dari ketika mendengar bacaan al-Qur’an yang dilantunkan adik dan iparnya.[6] Dan keislamannya ini berpengaruh besar bagi kaum muslimin.
Beliaulah yang pertama kali digelari Amirul Mukminin. Beliaulah yang pertama kali membuat penanggalan hijriyah, mengumpulkan manusia untuk shalat tarawih berjamaah, orang yang pertama kali berkeliling di malam hari mengontrol rakyatnya di Madinah, yang pertama kali membawa tongkat pemukul untuk member pelajaran dan menghukum yang salah, yang pertama kali mendera peminum khamr 80 kali cambukan, khalifah yang melakukan banyak penaklukan, yang pertama kali membuat kota-kota, membentuk tentara resmi, membuat undang-undang perpajakan, membuat secretariat, menentukan gaji tetap, menempatkan para qadhi, mebagi-bagi wilayah yang ditaklukkan seperti As-Sawad, Ahwaaz, wilayah pegunungan, wilayah Persia dan lain sebagainya.[7]
Ketika Nabi Muhammad SAW. wafat dan Abu Bakar menjadi khalifah, maka Umar berada disisinya untuk membantu dalam memudahkan urusan kaum muslimin, di mana Abu Bakar selalu bermusyawarah dengan Umar dalam masalah-masalah yang disampaikan kepadanya, dan Umar menjadi pembantu dan penasehat terbaik. Ketika abu Bakar menghadapi kematiannya, dia mengangkat Umar sebagai Khlifah setelah bermusyawarah dengan para sahabat senior dan persetujuan mereka dalam hal itu. Umar melaksanakan tugas dalam kekhalifahan selama sepuluh tahun dan enam bulan dan mampu merealisaskan hal-hal yang besar dalam masa tersebut. Umar saat menjelang kesyahidannya sangat memperdulikan beberapa hal yang menunjukkan keagungan pribadinya, dan memiliki makna penting diantaranya dalah:[8]
1.      Umar dibunuh ketika shalat. Tapi, demikia itu tidak menyibukkannya dalam shalat, bahkan ia menggapai tangan Abdurrahman bin Auf, lalu diajukannya untuk mengimami shalat manusia. Amak Abdurrahman mengimami mereka dengan shalat yang ringan, sedangkan Umar dalam keadaan pingsan. Ketika ia sadar ia memandangi wajah sahabat-sahabatnya.
2.      Umar memperhatikan pembunuhnya dan motivasinya, dan berkata, “segala puji bagi Allah SWT. Yang tidak menjadikan kematianku di tangan orang yang mengaku Islam”.
3.      Peduli dalam menghitung hutangnya dan membebankan kepada putranya, Abdullah bin Umar untuk membayarnya.
4.      Menginginkan untuk di makamkan di samping dua sahabatnya, seraya minta izin kepada Aisyah ra melalui putranya Abdullah bin Umar.
5.      Peduli penentua khlifah setelahnya, dimana ia menjadikan perkara ini di tangan enam orang sahabat.
6.      Mewasiatkan khalifah setelahnya tentang rakyat, baik yang muslim maupun yang dzimi, yang di perkotaan maupun dipedesaan.
Umar meninggal terbunuh oleh Abu Lu’lu’ah, seorang budak Persia milik gubernur Bashrah yang bernama Mughirah ibn Syu’bah. Pada akhir hayatnya Umar menunjuk sebuah lembaga Syura (lembaga permusyawaratan) untuk menyelenggarakankhalifah baru berkuasa sepeninggalnya.[9]

2.      Pendidikan dan Konsep Pemikiran Umar bin Al-Khattab
Umar bin Al-Khattab adalah orang yang selalu haus dengan ilmu dan selalu ingin menambah pengetahuannya, harta kekayaan tidak banyak mendapat perhatian darinya. Karena dengan keluasan ilmunya itulah ia dijadikan sebagai rujukan oleh generasi sesudahnya dalam menentukan hukum. Kedalaman ilmunya terlihat dari pemahamannya terhada ayat-ayat Al-Qur’an, karena dia menegetahui konteks social yang menjadi sebab turunnya ayat-ayat tersebut (asbab al-nuzul al-ayat).
Ia memiliki kecerdasan yang luar biasa, ia mampu memperkirakan hal-hal yang akan terjadi pada masa yang akan datang, tutur bahasanya halus dan bicaranya fasih. Kelebihan-kelebihan yang dimilkinya itu mengantarkannya terpilih menjadi wakil kabilahnya.[10] Nabi Muhammad juga memprediksikan keistimewaan Umar ra dalam masalah ilmu dan pemahaman. Dalam hal ini Rasulullah SAW. bersabda:
“Sesungguhnya telah datang dalam umat-umat sebelum orang-orang yang diberikan ilham (ilmu). Dan bila dalam umatku terdapat seseorang yang demikian itu, maka Umar bin Al-Khattab termasuk dari mereka”.[11]
Adapun yang dimaksud dengan ilmu dalam hadits di atas adalah ilmu tentang pengetahuan manusia dengan kitab Allah SWT. Dan sunnh Rasul-Nya. Dimana Umar memiliki keistimewaan seperti itu disebabkan lama masa bergaulnya bersama Rasulullah SAW., dan lamanya masa pemerintahannya di bandingkan dengan Abu Bakar ra, dan karena kesepakatan manusia untuk metaatinya bila dibandingkan dengan Utsman bin Affan ra. Umar ra adalah seorang sahabat yang terkenal dengan kecerdasan, keberanian, kezuhudan, dan kecemerlangan buah pikirannya. Perjalanan kehidupannya senantiasa memiliki cerita dan makna yang luar biasa. Nabi Muhammad mengakui keunggulan-keunggulan yang dimiliki Umar, pemuda yang gagah berani, tidak mengenal takut dan gentar, dan mempunyai ketabahan dan kemauan yang keras.
Tidak diragukan lagi, bahwa Umar bin Al-Khathab ra adalah tokoh yang sangat jenius, bahwa sosok pribadi individual Umar bukanlah basis kejeniusannya artinya ia bukanlah seorang pemimpin diktator yang segala kebijakan dan basisnya hanya didasarkan pada kehebatan dirinya. Fakta sejarah menunjukan lain, dan kenyataan ini sangat mudah ditangkap oleh orang-orang yang pernah membaca tentang biografi Umar bin Al-Khathab. Kejeniusan Umar termasuk kategori kejeniusan langka, karena sifat-sifat yang ada pada dirinya banyak yang tidak kita temukan pada diri tokoh-tokoh lain, sehingga hal ini mengasyikan para ahli sejarah untuk berlama-lama mengakajinya. Sifat-sifat khas yang hanya dimiliki oleh Umar ini mudah ditemukan oleh siapa pun yang mau menyelami kehidupannya, mempelajari sejarah dan aksi-aksinya, tidak peduli dari bangsa atau latar belakang akademis.[12] Bukankah kejeniusan atau luasnya pengetahuan Umar ini relevan dengan apa yang diutarakan oleh Rasullah SAW. ketika beliau berbicara tentang Umar:
“Aku tidak pernah menemukan kejeniusan manusia yang sepadan dengan kejeniusan Umar”.
Karekteristik atau kekhasan dari kejeniusan Umar ini dapat dilihat dengan jelas ketika melihat nalar hukum yang dia pakai. Hal inilah yang mejadikan Umar mempunyai keistimewaan dalam hal luasnya cakrawala pengetahuan dan keberanian dalam memperluas medan kerja akal (ra’yu). Indikasinya adalah dia tidak hanya melakuan ijtihad dalam masalah-masalah yang tidak ada ketetepan nashnya, namun ia juga berusaha untuk mengidentifikasi kemaslahatan yang menjadi motivasi ketetapan nash dalam Al Quran atau Sunnah, kemudian menjadikan kemaslahatan yang terindentifikasi tersebut sebagai petunjuk dalam menetapan hukum. Pembuktian akan hal ini banyak sekali, di mana dalam banyak problematika dan masalah yang dirasakan sulit oleh para fuqahak (sahabat) lain, Umar dapat mengambil istinbath (kesimpulan hukum) dengan mudah. Yang pasti secara ilmiah Umar lebih unggul dalam pemahaman fiqh dan hukum. Hal ini telah dibuktikan oleh Al Quran, Sunnah serta kesaksian para ulama salaf.[13]
Konsep pemikiran hukum Umar terhadap beberapa hal sebagai berikut:
1.      Ketika Rasulullah mengirim Mu'adz bin Jabal ke Yaman, kemudian pada pemerintahan Abu Bakar, beliau mengirim Umar pada musim haji ke Makkah. Ketika sedang di Arafah Umar bertemu dengan Mu'adz bin Jabal yang dating dari Yman membawa budak-budak.
Umar bertanya kepadanya: "budak-budak itu milik siapa ? "Mu'adz menjawab: sebagian milik Abu Bakar dan sebagian yang lain milikku". Umar berkata: sebaiknya kamu serahkan semua budak itu kepada Abu Bakar, setelah itu jika beliau memberikan kepadamu, maka itu adalah hakmu, tetapi jika beliau mengambil semuanya maka itu adalah hak beliau. Mua'adz berkata: "mengapa saya harus menyerahkan semuanya kepada Abu Bakar, saya tidak akan memberikan hadiah  yang diberikan kepadaku".
Kemudian Mu'adz pergi ketempat tinggalnya. Pada pagi hari Muadz ketemu lagi dengan Umar dan mengatakan: wahai Umar tadi malam saya bermimpi mau masuk neraka, tiba-tiba kamu dating menyelamatkan aku, makanya sekarang saya taat kepadamu. Kemudian Mu'adz pergi ke Abu Bakar dan berkata: sebagian budak adalah milikmu dan sebagian lainnya adalah hadiah untukku, tapi saya serahkan kepadamu semuanya, kemudian Abu Bakar mengatakan, adapun budak-budak yang dihadiahkan kepadamu saya kembalikan kepadamu.
2.      Suatu ketika ada pembantu yang mengambil barang majikannya. Tetapi ia mencuri karena terpaksa, karena anak dan istrinya kelaparan akibat honornya tidak dibayarkan oleh majikannya. Oleh khalifah Umar, orang yang mencuri tersebut tidak dihukum potong tangan. Kemudian timbul anggapan bahwa Umar telah mengambil keputusan yang bertentangan dengan Al-Qur'an, namun Umar sesungguhnya tidaklah merubah sebuah hukum dalam islam, karena ada hadits yang diriwayatkan oleh As-Sarkhasi dari makhul bahwa Rasulullah SAW bersabda: "tidak ada potong tangan pada (tahun) paceklik yang teramat sangat". Umar tidak menerapkan potong tangan pada kasus tersebut karena ada nash lain yang menjelaskan. Umar tidak meninggalkan nash al-Qur'an yang sudah jelas maknanya.[14]
3.      Beberapa hadits shahih menyatakan bahwa dijaman Rasulullah SAW. Talak tiga dalam satu waktu dianggap sebagai talak satu. Begitu juga pada masa abu Bakar dan masa Umar bin al-Khattab.
Adapun Umar mengesahkan talak tiga dalam satu waktu adalah sebagai hukuman dan pelajaran agar talak tiga dalam satu waktu tidak dilakukan oleh orang banyak. Ini juga merupakan ijtihad beliau, yang bertujuan demi kemaslahatan bersama.
4.      Pada waktu menjabat sebagai khalifah Umar bin Al-Kahttab tidak membenarkan seorang sahabat Nabi kawin dengan wanita ahli kitab, padahal al-Qur'an jelas membolehkannya.
Suatu ketika Umar menerima surat dari Hudzaifah Ibn Al-Yamman, yang menceritakan bahwa ia telah menikahi seorang ahli kitab (Yahudi) di kota Al-Mada'in, ketika Hudzaifah meminta pendapat. Maka Umar, dalam surat jawabannya memberikan peringatan keras, antara lain dengan mengatakan: "kuharap engkau tidak melepaskan surat ini sampai dia (wanita Yahudi) itu engaku lepaskan, sebab aku khawatir kaum muslimin akan mengikuti jejakmu, lalu mereka lebih mengutamakan ahl al-dzimmah (ahli kitab yang dilindungi) karena kecantikan mereka. Hal ini sudah sebagai bencana bagi wanita kaum muslimin.[15]
5.      Umar bin al-Khattab tidak memberikan hak muallaf sebagai salah satu mustahiq zakat. Dalam surah at-taubah:60, disebutkan bahwa orang yang berhak menerima zakat itu adalah fakir, miskin, ibnu sabl, orang yang berjuang di jalan allah, orang yang berutang, amil, muallaf dan orang yang memerdekakan budak.
Umar menilai sebagian besar orang yang masuk islam saat itu adalah orang yang kaya dan mampu. Diantara mereka itu adalah Suhail bin Amr, Aqra bin Habis, dan Muawiyah bin Abi Sufyan.[16]
a.       Muwafaqat (ketetapan Allah yang sesuai dengan pendapat) Umar
Para ulama banyak menyebutkan beberapa ketepatan pemikiran Umar dalam beberapa peristiwa yang dilakukan oleh nash-nash Qurani. Hal ini menunjukan bahwa pandangan Umar selalu tepat dalam setiap istinbath dan karena dialah sosok fuqahak pertama yang tidak terkotori oleh apapun.
Jalaluddin As Suyuti telah menyebutkan dalam bukunya pemikiran dan pendapat Umar yang sesuai dengan nash-nash Al Quran dan Sunna Nabawiyah. Sebagai contoh, Umar mengusulkan kepada Nabi agar sebagian maqam Nabi Ibrahim as dijadikan sebagai tempat shalat. Maka kemudian Allah SWT. menurunkan ayat tentang ketepatan ijtihad Umar ini27 sebagaimana yang dibenarkan dalam teks ayat dalam QS Al Baqarah ayat 125:

“Dan (ingatlah), ketika kami menjadikan rumah itu (Baitullah) tempat berkumpul bagi manusia dan tempat yang aman. dan jadikanlah sebahagian maqam Ibrahim tempat shalat. dan Telah kami perintahkan kepada Ibrahim dan Ismail: "Bersihkanlah rumah-Ku untuk orang-orang yang thawaf, yang i'tikaf, yang ruku' dan yang sujud". (QS. Al-Baqarah: 125).

Saya katakan kepada Rasulullah, “ ya Rasulullah, orang yang baik dan buruk perangainya masuk ke dalam rumah istri-istrimu, alangkah baiknya jika kau perintahkan mereka untuk berhijab. Kemudian turunlah ayat hijab.

Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (isteri- isteri Nabi), Maka mintalah dari belakang tabir. cara yang demikian itu lebih Suci bagi hatimu dan hati mereka. dan tidak boleh kamu menyakiti (hati) Rasulullah dan tidak (pula) mengawini isteri- isterinya selama-lamanya sesudah ia wafat. Sesungguhnya perbuatan itu adalah amat besar (dosanya) di sisi Allah. (QS. Al-Ahzab: 53).[17]
Suatu waktu para istri Rasulullah berkumpul karena dilanda rasa cemburu. Maka saya (Umar) katakana semoga Allah menceraikan kalian semua dan Dia menggantinya dengan istri-istri yang lain yang lebih baik dari kalian. Lalu turunlah ayat:
isteri yang lebih baik daripada kamu, yang patuh, yang beriman, yang taat, yang bertaubat, yang mengerjakan ibadat, yang berpuasa, yang janda dan yang perawan. (QS. At-Tahrim: 5)
Selain tiga hal itu, masih ada beberapa pendapat Umar yang sejalan dengan Al-Qur’an. Ia pernah mengusulkan untuk membunuh tawanan perang Badar dan tidak menerima tebusan dari mereka. Lalu, turunlah firman Allah surah Al-Anfal:67-68.[18]
b.      Hadits-hadits Tentang Keutamaan Umar
Kesaksian Sunnah tentang martabat ilmu Umar dan kekritisan pemikiran serta pandangannya sangatlah banyak. Semua hadis-hadis tersebut memberikan pengertian bahwa Umar benar-benar merupakan sosok yang mempunyai ilmu yang sangat luas. Oleh karenanya menempatkan kedudukannya sebagai seorang faqih umat Islam nomor satu yang tak tertandingi.
Diriwayatkan dari Sa’id Ibnu al-Musayyab bahwa Abu Hurairah ra berkata, “ketika kami berada di sisi Rasulullah SAW. tiba-tiba beliau berkata, “sewaktu tidur aku bermimpi meminum susu hingga aku melihat bekas-bekas susu tersebut melekat pada kuku-kukuku kemudian aku berika pada Umar. “mereka bertanya, “Apa takwilnya wahai Rasulullah?” maka Rasulullah mnjawab, “Ilmu”.[19]
c.       Perkataan Sahabat dan Ulama’ Salaf Tentangnya
Para sahabat banyak sekali yang memberi aprisiasi komentar tentang Umar, yang pasti para ulama telah menyaksikan keunggulan Umar dalam memahami rahasia dan inti ajaran syariat Islam. Abdullah Ibn Mas’ud ra berkata :
“Kalaulah saja ilmu Umar ditimbang dengan ilmunya penduduk bumi ini, pastilah akan terlihat ilmu Umar lebih berat.”
Umar tidak mengeyampingkan kemungkinan-kemungkinan yang bakal terjadi, ketika beliau mengemukakan gagasan atau ijtihadnya. Bila ternayata ada orang yang menyanggah pendapatnya, maka dengan segera ia menguraikan pandangan itu, sehingga si penyanggah menerima dan mengikuti ijtihadnya. Melalui pengetahuannya yang luas, didukung oleh kepintaran dan kepiawaian serta hafalanya, Umar tampil sebagai seorang ahli dalam bidang fiqh. Dengan kepakarannya inilah, dia turut memberikan andil besar bagi munculnya mujtahid-mujtahid besar sampai kurun waktu sekarang ini.
3.      Konsep Umar
a.       Had mencuri
4.      Metode Penetapan Hukum Umar
Tidaklah diragukan bahwa metode yang dilakukan Umar dalam berijtihad sangat kuat, akuntability dan akurat. Langkah pertama dalam menetapkan sebuah kasus hukum adalah mengambil dari Al Quran kemudian dari Sunnah Nabawiyah dan setelah itu ia berijtihad. Kadangkala Umar juga mengambil pendapat orang yang dianggap lebih senior seperti pendapat Abu Bakar ra. Kadang juga mengumpulkan para sahabat dan meminta pendapat mereka, kemudian mengambil keputusan dari hasil pengumpulan pendapat-pendapatnya sendiri yang didasarkan kepada kaidah-kaidah syariat, yang mengutamakan terlealisasinya kemaslahatan dan tidak adanya kemadharatan.
Memang betul sewaktu Rasulullah SAW. masih hidup, Umar banyak melakukan ijtihad-ijtihad, namun ijtihad yang dilakukan oleh Umar pada waktu itu hanya sebatas pada kontsribusi ide kepada Rasulullah SAW. dalam masalah-masalah yang pemecahannya memang melalui mekanisme syura. Atau dalam masalah-masalah yang Umar mempunyai ide tersendiri, yang menurutnya ada kemaslahatan bagi masyarakat pada masa kerasulan. Pendapat-pendapat Umar ini sering sesuai dengan wahyu, yang nantinya turun kepada Nabi Muhammad SAW.[20] Kesesuaian pendapat Umar dengan ketetapan wahyu ini menunjukan bahwa logika dan nalar hukum Umar sangat istimewa, pemikirannya tajam dan dalam. Umar mengetahui kondisi masyarakat zamannya, dan dia juga mengetahui tujuan-tujuan utama syariat dengan tepat. Ini merupakan permulaan bagi aksi dan manajemen Umar yang akan dia demontrasikan pada masa pemerintahnnya.
Namun tetap dicatat bahwa legitimasi dari wahyu tentang keahlian Umar dalam masalah penetapan hukum -sebagaimana disinggung di atas- sebenarnya bukanlah legitimasi primer Umar. Kesesuaian pendapatnya dengan ketetapan wahyu pada masa risalah sama sekali tidak bisa disimpulkan, bahwa Umar mempunyai nilai otoritatif sebagai sumber hukum. Hal ini disebabkan otoritas penetapan hukum pada masa itu hanya berada pada wahyu dan tindakan Rasulullah SAW. (as-sunnah al-amaliyah) yang direstui secara eksplisit oleh nash atas yang didiamkan oleh nash. Dalam hal ini, ijtihad atau pendapat Umar bukanlah yang menentukan suatu ketetapan hukum, mempunyai legitimasi tasyri’; melainkan turunnya wahyulah yang menyebabkan suatu pendapat mempunyai otoritas dalam penetapan hukum. Kalau seandainya wahyu yang turun menolak pendapat-pendapat Umar, maka pendapat Umar tersebut tidak mempunyai otoritas dalam menetapkan suatu hukum, dalam keadaan seperti ini, pendapat-pendapat Umar hanya menjadi sekedar usulan yang ditolak oleh pihak yang mempunyai hak otortitas dalam menetapkan atau menolak suatu pendapat yang diusulkan.
Oleh karenanya pendapat Umar yang dilontarkan pada masa Rasulullah SAW. hanyalah sekedar usulan semata yang mempunyai potensi untuk diterima atau ditolak. Pendapat-pendapat tersebut sama sekali tidak mempunyai hak dalam menetapkan hukum, kecuali setelah mendapat persetujuan dari wahyu yang mempunyai hak otoritas dalam penetapan hukum. Meskipun setelah Rasulullah SAW. meninggal, Umar tidak langsung menjabat sebagai khalifah, namun pada rentang waktu dua tahun lebih, di saat kekhalifahan dipegang dibawah kendali Abu Bakar ra, Umar mempunyai peran kursial dan banyak mengeluarkan ide-ide berlian. Tidak heran, jika peran Umar masa itu sebanding dengan peran Abu Bakar sendiri sebagai khalifah. Banyak keputusan hukum pada masa Abu Bakar yang ditetapkan berdasarkan pendapat dan ijtihad Umar. Posisi Umar sungguh sangat menentukan, sehingga tidak mengherankan jika Abu Bakar dalam beberapa kesempatan mengambil sikap yang mengindikasikan penghormatan yang tinggi kepada Umar. Pendapat dan pemikiran Umar mempunyai bobot tersendiri dalam majelis syura dan juga dalam penerapan nilai-nilai universal syariat pada realitas-realitas baru dalam kehidupan.
Rentang waktu yang melengkapi manhaj Umar bin Al-Khathab dalam masalah ijtihad dan penetapan hukum dimulai sejak meninggalnya Rasulullah SAW. pada bulan Rabiul Awwal 11 H, dan selesai hingga Umar meninggal dunia pada bulan Dzulhijjah 23 H (632-643 M)[21]. Dengan kata lain; salama dua belas tahun sembilan bulan dan beberapa hari, sesuai dengan hitungan tahun Hijriyah yang ditetapkan oleh Umar bin Al-Khathab. Pada masa itu metode ijtihad Umar dalam penetapan hukum Islam mengalami kejayaan dalam menghadapi teori-teori hukum pada tataran praktis.


5.      Pengaruh Pemikiran Umar Terhadap Perkembangan Hukum Islam
Sebagai mana yang dipahami di saat Umar menghadapi kritikan yang amat memojokan, Umar beragumen secara kontekstual, tetapi disalahpahami oleh sahabat yang lain justru menggunakan tekstual, sehingga wajar bersimpang jalan. Sesunggunya Umar ingin keluar dari satu teks ayat yang tidak relevan dengan kondisi masyarakat menuju ke teks ayat lain yang lebih relevan dengan kondisi obyektif masyarakatnya. Sehingga dengan dasar itulah para akademisi khususnya yang bergerak dalam dunia perkembangan hukum Islam yang di awali dengan menggugat corak berfikir dan menafsiran yang berlandaskan teks atau telah berusaha menafsirkan ayat berdasarkan konteksnya namun tidak berani keluar dari pola-pola penafsiran yang sudah baku.
Dengan demikian, maka dari dunia akademisi (pengkaji hukum) telah berusaha memberikan alternatif penafsiran yang meskipun masih bersifat kontekstual tetapi cara memaknai konteksnya ternyata lebih radikal, bahkan boleh dikata tidak lazim, sehingga mampu memberikan perspektif baru atas pola-pola penafsiran yang sudah lazim. Hal ini tentu karena para akademisi itu mencoba memakai metode yang pernah dipraktekan oleh Umar dalam memaknai teks-teks nash dengan mempertimbangkan kemaslahatan umat.
Rumusan hukum dan metode istibath yang diperkenalkan oleh Umar dimungkinkan untuk dikembangkan secara dinamis, kreatif dan dimodifikasi. Sejumlah Sarjana yang berupaya menawarkan kemestian pemikiran ulang (re-thinking) atau tajdid dalam bidang pemikiran fiqh dan ushul fiqh dengan mencoba melihat metode Umar dengan melihat kontekstual dan relevan dengan kebutuhan masyarakat Islam modern.

C.    Kesimpulan
Sebagaimana yang diketahui bahwa Umar bin Al-Khathab adalah sahabat Nabi Muhammad SAW. yang memiliki pengetahuan yang luas, sehingga pengaruh corak berfikirnya menjadi rujukan generasi berikutnya dalam menetapkan hukum. Keluasan ilmunya terlihat dari pemahamannya terhadap ayat-ayat Al Quran. Umar sangat paham dengan maksud ayat-ayat Al Quran bahkan ijtihadnya dalam berbagaimacam persoalan,  sering dibenarkan oleh wahyu, dan kenyataannya Umar mengetahui konteks sosial yang menjadi sebab turun ayat (asbabunuzul) banyak ayat-ayat hukum turun ketika Umar bersama dengan Rasulullah.
Melalui pengetahuannya yang luas, didukung oleh kepintaran dan kuat hafalannya, Umar sebagai seorang ahli dalam menentuka sebuah hukum, dengan kepakarannya ini, Umar telah turut andil dalam memberikan pengaruh dan andil yang besar bagi perkembangan ilmu hukum masa selanjutnya, sehingga melahirkan mujtahid-mujtahid besar. Andaikan Umar tidak masuk Islam tentu sebagian besar sunnah Nabi yang menjadi sumber berbagai macam ilmu tidak akan sampai kepada kita, khususnya sunnah fi’liyah yang berkaitan dengan hukum dalam kehidupan sehar-hari.





DAFTAR PUSTAKA

Kementrian Agama RI, Al-Qur’an Tajwid dan Terjemahnya, PT. Sigma.
Az-Zubaidi. Zaiuddin Ahmad, Terjemah Hadits, Shahih Bukhari, PT. Karya Toha Putra, Semarang, 2007.
Katsir. Ibnu, Tartib wa Tahdzib, Al-Bidayah wan Nihayah, Terj. Abu Hasan Al-Atsari, Jakarta, Darul Haq, 2007.
As-Suyuthi. Imam, Tarikh Khulafa’, Sejarah Penguasa Islam, Jakarta, Pustaka Al-Kautsar, 2006.
Dewan Redaksi, Ensiklopedi Islam Sya zun, Jakarta, Ichtiar baru, 2003.
Andi Bastomi. Hepi Sejarah Paara Khalifah, Jakarta, Pustaka al-Kautsar, 2008.
Ar-Ruhaily. Ruway’I, Fikhu Umar Ibn Khaththab Muwaazinan Biffiqhi Asyuri al-Mujtahidin, Daar al-Gharbi al-Islami, Beirut, terj. Abbas M.B,




[1]  Ibnu Katsir, Tartib wa Tahdzib, Al-Bidayah wan Nihayah, Terj. Abu Hasan Al-Atsari, (Jakarta, Darul Haq, 2007), 168.
[2]  Imam As-Suyuthi, Tarikh Khulafa’, Sejarah Penguasa Islam, (Jakarta, Pustaka Al-Kautsar, 2006), 119.
[3]  Ibid, 120.
[4]  Dewan Redaksi, Ensiklopedi Islam Sya zun, (Jakarta, Ichtiar baru, 2003), 124.
[5]  
[6]  Imam As-Suyuthi, Tarikh Khulafa’, Sejarah Penguasa Islam, (Jakarta, Pustaka Al-Kautsar, 2006), 122.
[7]  Ibnu Katsir, Tartib wa Tahdzib, Al-Bidayah wan Nihayah, (Jakarta, Darul Haq, 2007), terj. Abu Ihsan Al-Atsari, hal. 170.
[8]  Ghufron A. Mas’adi, The Concese Encylopaedia of Islam, (Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 1999), 418.
[9]  Ibid, 418.
[10]  Dewan Redaksi, Ensiklopedi Islam Sya zun, (Jakarta, Ichtiar baru, 2003), 125.
[11]  Ibnu Katsir, Tartib wa Tahdzib, Al-Bidayah wa An-Nihayah, Tarj. Abu Ihsan Al-Atsari, (Jakarta, darul Haq, 2007), 175.
[12]  
[13]  Ruway’i Ar-Ruhaily, Fikhu Umar Ibn Khaththab Muwaazinan Biffiqhi Asyuri al-Mujtahidin, Daar al-Gharbi al-Islami, Beirut, terj. Abbas M.B, 29.
[14]  Muhammad Musa dan Adian Husaini, http://ahmuzaki.multiply.com/journal/. 27 Februari.
[15]  Masdar F. Mas'udi, http://media.isnet.org/islam/Paramadina/Konteks/AsbabAlNuzul1.html
[16]  Syahrudi Et-Fikri, Nadia Suraya, http://bazgresik.wordpress.com/2011/04/16/bentuk-zakat-masa-awal-islam. 16 April 2011.
[17]  Imam As-Suyuthi, Tarikh Khulafa, Sejarah Penguasa Islam, (Jakarta, Pustaka Al-Kautsar, 2006), 136.
[18]  Hepi Andi Bastomi, Sejarah Paara Khalifah, (Jakarta, Pustaka al-Kautsar, 2008), 12.
[19]  Ibnu Katsir, Tartib wa Tahdzib, Al-Bidayah wa An-Nihayah, Tarj. Abu Ihsan Al-Atsari, (Jakarta, darul Haq, 2007), 172.
[20]  Contoh yang terjadi pada waktu penentuan nasib tawanan Perang Badar, pendapat maqam Ibrahim sebagai tempat shalat, masalah hijab, keputusan untuk tidak menyalati Abdullah bin Ubai ketika mati dan lan-lain. (Lihat Tarikh Khulafa, Sejarah Penguasa Islam, Imam As-Suyuthi, hal.136)
[21]  Rasulullah meninggal pada bulan Rabiul Awwal 11 H, dan Abu Bakar meninggal pada Jumadil Akhir 13 H.Lihat Tarikh Ath-Thabari, Jilid III, hlm, 419.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar