Kamis, 25 Juni 2015

Peran Motivasi Dalam Mendukung Keberhasilan Pembelajaran

Proses pendidikan merupakan suatu system yang terdiri dari input, proses dan output. Input merupakan peserta didik yang akan melaksanakan aktivitas belajar, proses merupakan kegiatan dari belajar mengajar sedangkan output merupakan hasil dari proses yang dilaksanakan. Dari pelaksanaan proses pendidikan tersebut diharapkan dapat menghasilkan sumber daya manusia yang berkualitas dan berdaya saing tinggi untuk menghadapi persaingan di era globalisasi dewasa ini.
Terkait dengan dunia pendidikan, untuk menciptakan manusia yang berkualitas dan berprestasi tinggi maka siswa harus memiliki prestasi belajar yang baik. Prestasi belajar merupakan tolok ukur maksimal yang telah dicapai siswa setelah melakukan kegiatan belajar selama waktu yang telah ditemtukan bersama.
Dalam suatu lembaga pendidikan, prestasi belajar merupakan indikatoryang penting untuk mengukur keberhasilan proses belajar mengajar. Akan tetapi tidak bisa dipungkiri bahwa tinggi rendahnya prestasi siswa banyak dipengaruhi oleh factor-faktor lain disamping proses pengajaran itu sendiri.[1]
Motivasi dirumuskan sebagai suatu proses yang menentukan tingkatan kegiatan serta arah umum dari tingkah laku manusia, merupakan konsep  yang merupakan konsep yang berkaitan dengan konsep-konsep yang lain seperti minat, konsep diri, sikap dan sebagainya sehingga dapat mempengaruhi siswa yang dapat membangkitkan dan mengarahkan tingkah laku yang dimungkinkan untuk ditampilkan oleh para siswa.[2]
Sehubungan dengan hal tersebut ada tiga fungsi motivasi :
1.      Mendorong seseorang untuk berbuat, jadi sebagai penggerak. Motivasi dalam hal ini merupakan motor penggerak atau motor yang melepaskan energy dalam setiap kegiatan yang akan dilakukan.
2.      Menentukan arah perbuatan, yakni kearah tujuan yang hendak dicapai. Dengan demikian mitivasi dapat memberikan arah dan kegiatan yang harus dikerjakan sesuai dengan rukmusan tujuannya.
3.      Menyeleksi perbuatan, yakni menentukan perbuatan-dperbuatan apa yang harus dikerjakan yang serasi guna mencapai tujuan, dengan menyisihkan perbautan-perbuatan yang tidask bermanfaat bagi tujuan seorang siswa yang akan menghadapi ujian dengan harapan lulus, tentu akan melakukan kegaitan belajar dan tidak akan menghabiskan waktunya untuk bermain  sebab tidak serasi dengan tujuan.
Dari pendapat di atas sangat jelas bahwa motivasi sangat penting dalam proses belajar mengajar, karena motivasi dapat mendorong siswa untuk melakukan aktivitas-aktivitas tertentu yang berhubungan dengan kegiatan belajar mengajar. Dalam proses belajar mengajar tersebut diperlukan suatu upaya yang dapat meningkatkan motivasi siswa, sehingga siswa yang bersangkutan dapat mencapai hasil belajar yang optimal.
Siswa yang mempunyai motivasi yang kuat akan diikuti dengan munculnya disiplin diri dimana disiplin tersebut merupakan sesuatu yang berkenaan dengan pengendalian diri seseorang terhadap bentuk-bentuk aturan. Atau pada garis besarnya motivasi menentukan tingkat berhasil atau gagalnya kegiatan belajar siswa, pembelajaran yang bermotivasi pada hakikatnya adalah pembelajaran yang sesuai sesuai dengan kebutuhan, dorongan, motif, minat, yang ada pada diri siswa.berhasil atau gagalnya dalam membangkitkan dan mendayagunakan motivasi dalam proses pembelajaran berkaitan dengan upaya pembinaan kedisiplinan kelas. Motivasi merupakan bagian dari prinsip-prinsip belajar dan pembelajaran karena motivasi menjadi salah satu faktor yang turut menentukan pembelajaran yang efektif.[3]
Dengan motivasi orang akan terdorong untuk bekerja mencapai sasaran dan tujuannya karena yakin dan sadar akan kebaikan, kepentingan dan manfaatnya. Bagi siswa motivasi ini sangat penting karena dapat menggerakkan perilaku siswa kearah yang positif sehingga mampu menghadapi segala tuntutan, kesulitan serta menanggung resiko dalam belajar.
Dalam kaitannya dengan belajar, motivasi sangat erat hubungannya dengan kebutuhan aktualisasi diri sehingga motivasi paling besar pengaruhnya pada kegiatan belajar siswa yang bertujuan untuk mencapai prestasi tinggi. Apabila tidak ada motivasi belajar dalam diri siswa, maka akan menimbulkan rasa malas untuk belajar baik dalam mengikuti proses belajar mengajar maupun mengerjakan tugas-tugas individu dari guru. Orang yang mempunyai motivasi yang tinggi dalam belajar maka akan timbul minat yang besar dalam mengerjakan tugas, membangun sikap dan kebiasaan belajar yang sehat melalui penyusunan jadual belajar dan melaksanakannya dengan tekun.
Indicator yang timbul dari adanya motivasi:
1.      Cita-cita
Cita-cita adalah sesuatu target yang ingin dicapai. Target ini diartikan sebagai tujuan yang ditetapkan dalam suatu kegiatan yang mengandung makna bagi seseorang. Munculnya cita-cita seseorang disertai dengan perkembangan akar, moral kemauan, bahasa dan nilai-nilai kehidupan yang juga menimbulkan adanya perkembangan kepribadian.
2.      Kemampuan belajar
Setiap siswa memiliki kemampuan belajar yang berbeda. Hal ini diukur melalui taraf perkembangan berpikir siswa, dimana siswa yang taraf perkembangan berpikirnya konkrit tidak sama dengan siswa yang sudah sampai pada taraf perkembangan berpikir rasional. Siswa yang merasa dirinya memiliki kemampuan untuk melakukan sesuatu, maka akan mendorong dirinya berbuat sesuatu untuk dapat mewujudkan tujuan yang ingin diperolehnya dan sebaliknya yang merasa tidak mampu akan merasa malas untuk berbuat sesuatu.
3.      Kondisi siswa
Kondisi siswa dapat diketahui dari kondisi fisik dan kondisi psikologis, karena siswa adalah makluk yang terdiri dari kesatuan psikofisik. Kondisi fisik siswa lebih cepat diketahui daripad kondisi psikologis. Hal ini dikarenakan kondisi fisik lebih jelas menunjukkan gejalanya daripada kondisi psikologis.
4.      Kondisi lingkungan
Kondisi lingkungan merupakan unsur yang datang dari luar diri siswa yaitu lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat. Lingkungan fisik sekolah, sarana dan prasarana perlu ditata dan dikelola agar dapat menyenangkan dan membuat siswa merasa nyaman untuk belajar. Kebutuhan emosional psikologis juga perlu mendapat perhatian, misalnya kebutuhan rasa aman, berprestasi, dihargai, diakui yang harus dipenuhi agar motivasi belajar timbul dan dapat dipertahankan.
5.      Unsur-unsur dinamis dalam belajar
Unsur-unsur dinamis adalah unsur-unsur yang keberadaannya didalam proses belajar tidak stabil, kadang-kadang kuat, kadang-kadang lemah dan bahkan hilang sama sekali misalnya gairah belajar, emosi siswa dan lain-lain. Siswa memiliki perasaan, perhatian, kemauan, ingatan, dan pikiran yang mengalami perubahan selama proses belajar, kadang-kadang kuat atau lemah.
6.      Upaya guru membelajarkan siswa
Upaya guru membelajarkan siswa adalah usaha guru dalam mempersiapkan diri untuk membelajarkan siswa mulai dari penguasaan materi, cara menyampaikannya, menarik perhatian siswa dan mengevaluasi hasil belajar siswa. Bila upaya guru hanya sekedar mengajar, artinya keberhasilan guru yang menjadi titik tolak, besar kemungkinan siswa tidak tertarik untuk belajar sehingga motivasi belajar siswa menjadi melemah atau hilang.[4]
Motivasi mempunyai fungsi yang sangat penting dalam belajar siswa, karena motivasi akan menentukan intensitas usaha belajar yang dilakukan oleh siswa. Hawley menyatakan bahwa para siswa yang memiliki motivasi yang tinggi, belajarnya lebih baik dibandingkan dengan para siswa yang memiliki motivasi rendah. Hal ini berarti siswa yang memiliki motivasi belajar tinggi akan tekun dalam belajar dan terus belajar secara kontinyu tanpa mengenal putus asa serta dapat mengesampingkan hal-hal yang dapat mengganggu kegiatan belajar. [5]




[1]  Suharsimi Arikunto, Manajemen Pengajaran Secara Manusiawi, (Jakarta: Rineka Cipta, 1990), 21
[2]  Slameto, Belajar dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya, (Jakarta: Rineka Cipta, 2003), 170.
[3]  Syaiful Bahri Djamarah, Psikologi Belajar, (Jakarta: Rineka Cipta, 2000), 123.
[4]  Dimyati. Mujiono, Belajar dan Pembelajaran, (Jakarta: Rineka Cipta, 1994), 90-92.
[5]  Yusuf, Motivasi Dalam Belajar, (Jakarta: P2LPTK, 2003), 14.

Kelahiran Dinasti Fatimiyah

Oleh: Bakhtiar Nurdin

Loyalitas terhadap Ali bin Abi Thalib adalah isu terpenting bagi komunitas islam syi’ah untuk mengembangkan konsep Islamnya melebihi isu hukum dan mistisme. Pada abad ke VII dan ke VIII masehi isu tersebut mengarah pada gerakan politis dalam bentuk perlawanan kepada khalifah Umayyah dan Abbasiyah yang direalisasikan dengan upaya keras untuk merebut khalifah. Namun perjuangan mereka yang begitu lama dan berat untuk merebut kekuasaan ternyata belum membuahkan hasil. Justru secara politis kaum islam syi’ah mengalami penindasan dari khalifah Umayyah dan Abbasiyah.
Meski khalifah Abbasiyah mampu berkuasa dalam tempo yang begitu lama, akan tetapi periode keemasannya berlangsung singkat. Puncak kemerosotan khlifah-khalifah Abbasiyah ditandai dengan berdirinya khilafah-khilafah kecil yang melepaskan diri dari kekuasaan politik khilafah Abbasiyah.

Problematika Pendidikan Modern

Oleh: Bakhtiar Nurdin

Persoalan pendidikan di Indonesia adalah persoalan yang rumit, karena mengandung berbagai macam problematika. Problematika ini tidak hanya menyangkut persoalan konsep, berbagai peraturan, dan anggaran, tetapi juga menyangkut persoalan pelaksanaan dari berbagai sistem pendidikan di Indonesia. Sejak bergulirnya era reformasi banyak kalangan terperanjat terhadap problem pendidikan Indonesia. Hal ini bermula dari penilaian banyak orang terhadap out put hasil pendidikan yang belum sesuai dengan tujuan pendidikan di Indonesia. Kehidupan moral, etos kerja, kemampuan dan keterampilan yang masih rendah, angka korupsi yang terus bertambah, serta banyaknya pengangguran di negara kita ini. Hal inilah yang membuat keprihatinan bagi beberapa kalangan yang sempat mencurahkan perhatiannya dalam dunia pendidikan, mereka melihat bahwa telah ada yang salah dalam pendidikan di Indonesia. Hingga perlu adanya perbaikan secara menyeluruh terhadap masalah pendidikan.
Untuk itu masyarakat dan bangsa Indonesia perlu mempersiapkan diri memasuki milenium ketiga dengan tuntutan-tuntutan global. Tidak hanya berupa materi, masyarakat Indonesia juga memerlukan persiapan berupa keterampilan dan pengetahuan yang cukup memadai. Anak-anak bangsa perlu dipersiapkan menjadi generasi yang mampu bersaing, dan memiliki kompetensi yang dibutuhkan untuk memasuki dunia kerja abad ke-21. Kompetensi yang dimaksudkan disini adalah anak-anak yang berfikir kreatif, mampu mengambil keputusan, memecahkan masalah, belajar bagaimana belajar, bekolaborasi, dan pengelolaan diri.  
Sudah selayaknya kita mempersiapkan hal tersebut mulai sekarang dengan memulai pembenahan-pembenahan di bidang pendidikan. Karena pendidikan menjadi kunci penyelesaian masalah-masalah yang ada. Lebih lanjut penulis akan membahas problematika pendidikan telaah dari aspek pembelajaran. Bagaimana problem pembelajaran, mengapa terjadi problem, serta solusi apa yang tepat untuk ditawarkan sebagai jalan keluar.
A. Realita dan Problematika Pendidikan di Indonesia.
Secara kuantitatif dapat dikatakan bahwa pendidikan di Indonesia telah mengalami kemajuan. Indikator pencapaiannya dapat dilihat pada kemampuan baca tulis masyarakat yang mencapai 67,24%. Hal ini sebagai akibat dari program pemerataan pendidikan, terutaman melalui IMPRES SD yang dibangun pada rezim Orde Baru. Namun demikian, keberhasilan dari segi kualitatif pendidikan di Indonesia belum berhasil membangun karakter bangsa yang cerdas dan kreatif apalagi unggul. 
Banyaknya lulusan lembaga pendidikan formal, baik tingkat sekolah menengah hingga tingkat tinggi, terkesan belum mampu mengembangkan kreativitas dalam kehidupan mereka. Lulusan sekolah menengah sukar untuk bekerja di sektor formal karena belum memiliki keahlian khusus, demikian juga bagi lulusan sekolah atas yang bukan kejuruan. Bagi sarjana, hanya sedikit saja yang bisa bekerja di sektor formal. Saat ini banyak sarjana di Indoanesia hanya memiliki karakteristik antara lain, hanya memahami teori, memiliki keterampilan individual, motivasi belajar hanya untuk lulus ujian, berorientasi pada pencapaian grade atau pembatasan target, orientasi belajar hanya pada mata kuliah individual secara terpisah, proses belajar bersifat pasif, hanya menerima informasi dari dosen, serta penggunaan teknologi terpisah dari proses belajar. 


Padahal, sumber daya manusia yang diperlukan dalam pasar kerja, antara lain kemampuan solusi masalah berdasarkan konsep ilmiah, memiliki keterampilan team work, mempelajari bagaimana belajar yang efektif, berorientasi pada peningkatan terus-menerus dengan tidak dibatasi pada target tertentu saja. Saat ini banyak lembaga industri (swasta, BUMN, dan Pemerintah) sering menuntut persyaratan tertentu terhadap lulusan pendidikan formal untuk bekerja di lembaga-lembaga tersebut. Penguasaan Bahasa Inggris, keterampilan komputer, dan pengalaman kerja merupakan persyaratan utama yang diminta. Sementara Ijazah yang diperoleh selama 20 hingga 25 tahun dari lembaga pendidikan formal terabaikan. Hal inilah yang memberikan indikasi kepada kita bahwa lulusan pendidikan kita belum layak pakai. Dari kenyataan ini terlihat adanya kesenjangan antara tujuan yang ingin dicapai dalam menghasilkan output pendidikan formal dengan pengelolaan pendidikan , termasuk di dalamnya pengelolaan pembelajaran 

Pemerintah dalam upayanya memperbaiki sistem pendidikan nasional memberlakukan standarisasi pendidikan nasional. Kualitas pendidikan diukur dengan strandar dan kompetensi. Standarisasi dalam bidang pendidikan antara lain menghasilkan ujian nasional sebagai tolok ukur untuk menentukan nasib anak. Dengan materi ujian berupa bahasa Indonesia, Matematika, bahasa Inggris dan mata pelajaran jurusan. Maka untuk mengantisipasi rendahnya angka ketidaklulusan, maka beberapa mata pelajaran dikurangi jam belajarnya, termasuk didalamnya pendidikan Agama. Lantas dimanakah fungsi pedidikan nasional untuk membentuk manusia yang bertaqwa pada Tuhannya, jika mata pelajaran agama tidak dimasukkan dalam materi ujian nasional?

B. Sebab Terjadinya Problem Pembelajaran.

Adanya problem pembelajaran di Indonesia, menurut penulis terjadi karena beberapa faktor. Dalam hal ini penulis akan membatasi penyebab terjadinya problem pembelajaran karena tiga faktor, yaitu; pertama faktor pendekatan dalam pembelajaran. Kedua dari faktor perubahan kurikulum. Dan ketiga faktor kompetensi guru.

1. Faktor Pendekatan Pembelajaran.

Menurut Degeng problematika yang muncul pada masyarakat Indonesia, bermula dari gagalnya sistem pendidikan. Bermula dari pendidikan keluarga, lingkungan sekitar, dan pendidikan sekolah. Semuanya kurang memiliki kemampuan untuk menyelesaikan kekacauan, sehingga anak yang menjadi korbannya.
Lebih lanjut Degeng menjelaskan bahwa asumsi-asumsi yang melandasi program pendidikan sering tidak sejajar dengan hakekat belajar. Menurutnya dunia belajar, didekati dengan paradigma yang kurang mampu menggambarkan hakekat belajar dan pembelajaran secara komperehensif. Pendidikan dan pembelajaran selama ini hanya menekankan pada prilaku keseragaman, dengan harapan akan mengahasilkan keteraturan, ketertiban, dan kepastian. Paradigma pembelajaran yang mengutamakan keseragaman telah berhasil membelajarkan siswa untuk menghargai kesamaan dan sulit menghargai perbedaan. Prilaku yang berbeda di antara mereka lebih dilihat sebagai kesalahan yang harus di hukum.
Maka perlu dilakukan reformasi, redefinisi, dan reorientasi bahkan revolusi terhadap landasan teoritik dan konseptual belajar dan pembelajaran agar dapat menumbuhkembangkan anak-anak bangsa yang bisa menghargai keberagaman dan perbedaan. Peserta didik adalah manusia yang identitas insaninya sebagai subjek kesadaran perlu dibela dan ditegakkan. Melalui proses pendidikan yang bersifat “bebas dan egaliter”. Peserta didik harus diperlakukan dengan hati-hati, demokratis, bebas melakukan tindakan belajar sesuai dengan karakteristiknya dan keaktifan siswa menjadi unsur utama dalam menentukan hasil belajar.
Konsekuensi dari penemuan di atas adalah adanya pembaharuan hubungan antara guru dan murid. Jika selama ini guru lebih otoriter, sarat komando, instruktif, perlu dirubah peranannya sebagai ibu/bapak, kakak, sahabat, bahkan mitra. Bisa jadi dalam beberapa hal guru berperan sebagai murid dan murid justru sebagai gurunya. Proses belajar tidak perlu menggunakan praktek kompetensi dengan pemberian rangking. Karena hal tersebut akan membentuk manusia-manusia eksklusif, mengembangkan kebanggaan, dan disisi lain menyebabkan penderitaan batin siswa yang lemah. 
Lain halnya dengan pendapat ulama’ Islam tentang pendidikan, menurut mereka dalam mencari ilmu seorang murid harus bersusah payah dahulu, menjauhkan diri dari kemaksiatan, tekun, mencintai dan menghormati gurunya, serta membutuhkan waktu yang panjang. al-Ghazali dalam bukunya Ihya’ ‘Ulum al-Di>n, menjelaskan bahwa setidaknya ada enam kewajiban yang harus dilaksanakan murid dalam belajar, yaitu:
1. Mendahulukan kesucian jiwa.
2. Merantau untuk mencari ilmu pengetahuan.
3. Tidak menentang guru (menyombongkan ilmunya).
4. Mengetahui kedudukan ilmu pengetahuan.
5. Rajin, tekun belajar.
6. Menjadikan ilmu jangka panjang sebagai prioritas utama. 
Al-Abrashi menambahkan tugas siswa dalam belajar adalah; 
1. Menerima guru dengan baik.
2. Tidak menipu guru.
3. Menjaga adab.
4. Belajar sampai akhir hayat. 
Dari dua pendapat ulama’ Islam di atas menunjukkan bahwa pembelajaran tidaklah mudah dan harus bersusah payah dahulu untuk keberhasilan dalam menempuh ilmu. 
Secara teoristis ada beberapa model pendekatan pembelajaran yang mengedepankan keatifan siswa dalam pembelajaran, yaitu: 
a. Teori kognitif/ konstruktivistik.
Teori kognitif/konstruktivistik menekankan bahwa belajar lebih banyak ditentukan karena adanya karsa individu. Menurut teori ini pengetahuan bukanlah seperangkat fakta, konsep-konsep atau kaidah yang siap diambil atau diingat, melainkan harus dikonstruk dan diberi makna melalui pengalaman empirik. Keaktifan siswa menjadi unsur terpenting dalam menentukan keberhasilan belajar. 
Cara menciptakan proses pembelajaran menurut teori ini adalah:
1) Peserta didik perlu di biasakan memecahkan masalah, menentukan sesuatu yang berguna baginya dan bergelut dengan ide-ide.
2) Siswa dibiasakan mengkonstruksi pengetahuan di benak mereka sendiri.
3) Siswa dilatih untuk menemukan dan mentransformasikan suatu informasi kompleks ke situasi lain.
4) Guru hendaknya memfasilitasi proses ini dengan mengajar menggunakan cara-cara yang membuat sebuah informasi menjadi bermakna dan relevan bagi siswa.
5) Guru memberi kesempatan pada siswa untuk menemukan dan mengaplikasikan ide-idenya. Disamping mengajarkan siswa untuk menemukan strategi yang tepat untuk belajar.
b. Teori Humanistik.
Menurut teori ini belajar bukan sekedar pengembangan kualitas kognitif saja, melainkan sebuah proses yang terjadi dalam individu yang melibatkan seluruh aspek domain yang ada baik kognitif, afektif maupun psikomotorik. Pendekatan humanistik dalam pembelajaran merupakan titik tekan pada pentingnya emosi, komunikasi terbuka, dan nilai-nilai yang dimiliki tiap siswa. Maka tujuan pembelajaran menurut teori ini tidak hanya mencakup aspek domain kognitif saja melainkan bagaimana siswa menjadi individu yang bertanggung jawab, penuh perhatian terhadap lingkunggannya, mempunyai kedewasaan emosi dan spiritual. Aplikasi teori humanistik dalam kegiatan pembelajaran cenderung mendorong siswa untuk berfikir induktif. Teori ini juga mementingkan faktor pengalaman dan keterlibatan siswa secara aktif dalam belajar. 
c. Teori Pendidikan Islam
Hakekat dari pendidikan Islam adalah pengembangan fitrah manusia lewat aktifitas pengajaran, bimbingan, pelatihan dan keteladanan sesuai dengan petunjuk Allah dan RasulNya, menuju terbentuknya kepribadian individu, dan kehidupan masyarakat yang sempurna secara fisik, intelektual, dan spiritual dalam rangka pengapdian kepada Allah SWT. 
Secara umum ada dua pendekatan dalam pendidikan Islam, yaitu;
1. Tradisional (Naqly)
Dalam pendekatan ini ajaran Islam diposisikan sebagai pola hidup yang sudah mapan berdasarkan prinsip Ketuhanan. Ketika guru mengajarkan pada murid ia harus berangkat dan semantiasa memegang teguh keimanan terhadap Allah SWT dengan segala titahNya dalam kehidupan ini. Dalam hal ini siswa hendaknya diberi penekanan untuk meneriam secara mutlak eksistensi ajaran Islam sebagaimana termaktub dalam al-Qur’an dan Hadith. 
Ciri-ciri dari pendekatan naqly ini adalah sebagai berikut:
a) Agama diposisikan sebagai pola hidup berdasarkan Ketuhanan.
b) Norma moralitas sebagai tolok ukur keberhasilan.
c) Penanaman keta’ziman kepada guru sebagai dasar wibawa guru.
d) Terjalin hubungan yang erat antara guru dan murid.
2. Pendekatan Modern (Aqly)
Ajaran Islam diposisikan sebagai fenomena sosial bukan sebagai pola hidup berdasarkan Ketuhanan. Dalam hal ini guru bersifat netral terhadap keyakinan dan kebenaran. Juga sikapnya untuk mempengaruhi menanamkan nilai-nilai kehidupan tertentu pada peserta didik. Sebaliknya siswa diposisikan sebagai individu yang terus berkembang, sedangkan ajaran moral dalam agama bukan sebagai tujuan utama dalam pembelajaran. Nilai-nilai keislaman hanya sebagai kebutuhan eksternal, material dan sosial pada siswa. Bukan dihayati sebagai pedoman hidup yang harus ditaati.
Sedangkan ciri-ciri dari pendekatan ini adalah:
a) Agama sebagai fenomena sosial dan merupakan realitas sosial.
b) Kemampuan akademis dan prestasi akademis sebagai tolok ukur keberhasilan pendidikan.
c) Keta’ziman akan berhasil jika ditanamkan oleh guru.
d) Hubungan antara guru dan murid tidaklah penting. 



2. Faktor Perubahan Kurikulum

Jatuh bangunnya kualitas pendidikan di Indonesia juga disebabkan sering berubahnya kurikulum yang diterapkan pada pembelajaran. Fenomena yang sering terjadi di Indonesia yaitu setiap pergantian kabinet pemerintahan, dalam hal ini menteri pendidikan, maka berubah pula kurikulum yang diterapkan. Padahal setiap pengajar baik di tingkat SD hingga universitas terlibat dalam masalah kurikulum.

Kurikulum merupakan pijakan guru kemana arah pembelajarannya, apa tujuan yang harus dicapai, perubahan tingkah laku apa yang harus dibangkitkan, apa kesulitan, kelemahan, hingga bagaimana tindakan yang tepat yang harus dilakukan siswa untuk pembelajaran selanjutnya. Kurikulum yang ditetapkan pemerintah dapat dikatakan harga mati yang harus dipenuhi. Hanya gurulah yang memberi “hidup” pada pedoman kurikulum yang diterbitka oleh pemerintah. Karena guru merupakan tokoh utama dalam untuk mewujudkan kurikulum tersebut agar terjadi perubahan kelakuan siswa menurut apa yang diharapkan. 

3. Faktor Kompetensi Guru.

Profesionalisme guru merupakan suatu keharusan dalam mewujudkan sekolah berbasis pengetahuan, yaitu pemahaman tentang pembelajaran, kurikulum, dan perkembangan manusia termasuk gaya belajar. Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 18 Tahun 2007 tentang Guru, dinyatakan bahwasanya salah satu kompetensi yang harus dimiliki oleh guru adalah kompetensi professional. Kompetensi profesional yang dimaksud dalam hal ini merupakan kemampuan guru dalam penguasaan materi pelajaran secara luas dan mendalam. Maksudnya seorang guru harus menguasai kemampuan akademik lainnya yang berperan sebagai pendukung profesionalisme guru. Kemampuan akademik tersebut antara lain, memiliki kemampuan dalam menguasai ilmu, jenjang dan jenis pendidikan yang sesuai. 

Berbagai kendala yang dihadapi sekolah terutama di daerah luar kota, umumnya mengalami kekurangan guru yang sesuai dengan kebutuhan. Kebutuhan yang dimaksud adalah kebutuhan subjek atau bidang studi yang sesuai dengan latar belakang guru. Akhirnya sekolah terpaksa menempuh kebijakan yang tidak popular bagi anak, guru mengasuh pelajaran yang tidak sesuai bidangnya. Dari pada kosong sama sekali, lebih baik ada guru yang bisa mendampingi dan mengarahkan belajar di kelas. 
C. Solusi
1. Arah Baru Pembelajaran di Indonesia.
Hendaknya seorang guru tidak hanya mengutamakan mata pelajaran, tetapi harus memperhatikan anak itu sendiri sebagai manusia yang harus dikembangkan pribadinya. Seorang guru harus memelihara perkembangan intelektual dan perkembangan psikologi anak secara seimbang. Tujuan utama dalam pembelajaran tidak hanya penguasaan aspek kognitif siswa, tetapi juga penguasaan aspek afektif dan psikomotorik. Pendidikan memerlukan kebebasan akan tetapi juga pengendalian. Larangan dan konflik, maupun kebebasan dan kepuasan merupakan bagian dari pendidikan. Tertalu banyak tekanan atau kebebasan berbuat sekehendak hati keduanya dapat mengahalangi perkembangan siswa. Terlampau banyak otoritas menghalagi siswa bersikap mandiri.  
Siswa harus diberi kesempatan yang cukup untuk berkarya tanpa diatur atau diawasi ketat oleh seorang guru. Disamping itu mereka juga harus melakukan kegiatan sesuai dengan petunjuk dan dibawah pengawasan guru. Dalam kehidupan riil manusia akan lebih banyak mengahadapi berbagai persoalan yang berat, membosankan dan menimbulkan konflik, daripada kegiatan yang bebas dan menyenangkan. Ia harus menyesuaikan diri dengan dunia nyata, adat kebiasaan serta norma-norma dunia sekitarnya. Oleh sebab itu siswa/ anak-anak perlu sejak dini diperkenalkan dengan kenyataan yang terjadi di dalam kehidupan. 
Dalam konsep pembelajaran antara metode konvensional dan metode modern hendaknya diterapkan secara seimbang. Metode konvensional, pendidikan satu arah jangan selamanya di tinggalkan, karena metode pembelajaran ini sangat relevan dengan materi keagamaan. Upaya menanamkan jiwa ke-Tauhid-an bisa dilakukan dengan cara melakukan doktrin terhadap siswa. Pendidikan konvensional dapat membentuk siswa yang memiliki akhlaq mulia, tawadhu’, ahli ibadah, patriotik mencegah kemungkaran dan kebatilan.
Sedangkan accelerated theaching and learning (pembelajaran menyenangkan) dapat diterapkan pada materi tentang ilmu keduniaan yang terus berkembang, sehingga seorang guru membutuhkan metode yang bervariasi dalam menyampaikan materi. Atau jika dalam pendidikan di perguruan tinggi, dibutuhkan perubahan proses belajar dari metode konvensional berupa kuliah atau ceramah, menjadi case problem based learning yang mengandalkan analisis kasus dan solusi masalah sehingga memperoleh keterampilan sebagai problem solver yang handal. 
2. Tugas dan Tanggung Jawab Guru.
a) Kompetensi Profesionalisme Guru.
Guru merupakan suatu profesi, yang berarti suatu jabatan yang memerlukan keahlian khusus sebagai guru, dan tidak dapat dilakukan oleh sembarang orang di luar bidang pendidikan. Untuk itu seorang guru harus mempunyai kompetensi dalam bidangnya. Kompetensi menurut Louise Moqvist adalah “competency has been defined in the light of actual circumstances relating to the individual and work. Sementara itu, dari Trainning Agency sebagaimana disampaikan Len Holmes (1992) menyebutkan bahwa : ” A competence is a description of something which a person who works in a given occupational area should be able to do. It is a description of an action, behaviour or outcome which a person should be able to demonstrate.” 
Dari kedua pendapat di atas kita dapat menarik benang merah bahwa kompetensi pada dasarnya merupakan apa yang seyogyanya dapat dilakukan (be able to do) seseorang dalam suatu pekerjaan, berupa kegiatan, perilaku dan hasil yang seyogyanya dapat ditampilkan atau ditunjukkan. Agar dapat melakukan (be able to do) sesuatu dalam pekerjaannya, tentu saja seseorang harus memiliki kemampuan (ability) dalam bentuk pengetahuan (knowledge), sikap (attitude) dan keterampilan (skill) yang sesuai dengan bidang pekerjaannya. 
Mengacu pada pengertian kompetensi di atas, maka kompetensi guru dapat artikan sebagai seperangkat kemampuan yang harus dimiliki oleh seorang guru agar ia dapat melaksanakan tugas mengajarnya dengan berhasil. 
Lebih jauh, Raka Joni sebagaimana dikutip oleh Suyanto dan Djihad Hisyam mengemukakan tiga jenis kompetensi guru, yaitu :
1) Kompetensi profesional; memiliki pengetahuan yang luas dari bidang studi yang diajarkannya, memilih dan menggunakan berbagai metode mengajar di dalam proses belajar mengajar yang diselenggarakannya. 
2) Kompetensi kemasyarakatan; mampu berkomunikasi, baik dengan siswa, sesama guru, maupun masyarakat luas. 
3) Kompetensi personal; yaitu memiliki kepribadian yang mantap dan patut diteladani. Dengan demikian, seorang guru akan mampu menjadi seorang pemimpin yang menjalankan peran : ing ngarso sung tulada, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani.  
Sementara itu, dalam perspektif kebijakan pendidikan nasional, pemerintah telah merumuskan empat jenis kompetensi guru sebagaimana tercantum dalam Penjelasan Peraturan Pemerintah No 14 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, yaitu :
1) Kompetensi pedagogik yaitu merupakan kemampuan dalam pengelolaan peserta didik yang meliputi: (a) pemahaman wawasan atau landasan kependidikan; (b) pemahaman terhadap peserta didik; (c)pengembangan kurikulum/ silabus; (d) perancangan pembelajaran; (e) pelaksanaan pembelajaran yang mendidik dan dialogis; (f) evaluasi hasil belajar; dan (g) pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya. 
2) Kompetensi kepribadian yaitu merupakan kemampuan kepribadian yang: (a) mantap; (b) stabil; (c) dewasa; (d) arif dan bijaksana; (e) berwibawa; (f) berakhlak mulia; (g) menjadi teladan bagi peserta didik dan masyarakat; (h) mengevaluasi kinerja sendiri; dan (i) mengembangkan diri secara berkelanjutan. 
3) Kompetensi sosial yaitu merupakan kemampuan pendidik sebagai bagian dari masyarakat untuk : (a) berkomunikasi lisan dan tulisan; (b) menggunakan teknologi komunikasi dan informasi secara fungsional; (c) bergaul secara efektif dengan peserta didik, sesama pendidik, tenaga kependidikan, orangtua/wali peserta didik; dan (d) bergaul secara santun dengan masyarakat sekitar. 
4) Kompetensi profesional merupakan kemampuan penguasaan materi pembelajaran secara luas dan mendalam yang meliputi: (a) konsep, struktur, dan metoda keilmuan/teknologi/seni yang menaungi/koheren dengan materi ajar; (b) materi ajar yang ada dalam kurikulum sekolah; (c) hubungan konsep antar mata pelajaran terkait; (d) penerapan konsep-konsep keilmuan dalam kehidupan sehari-hari; dan (e) kompetisi secara profesional dalam konteks global dengan tetap melestarikan nilai dan budaya nasional.  
b) Guru Sebagai Suri Tauladan.
Definisi yang kita kenal sehari-hari bahwa guru adalah orang yang harus digugu dan ditiru, dalam arti bahwa guru adalah orang yang mempunyai wibawa atau kharisma hingga perlu untuk ditiru dan diteladani. Guru mempunyai pengaruh terhadap perubahan prilaku siswa. Pedidikan adalah usaha membimbing anak ke arah kedewasaan sesuai dengan tujuan pendidikan. Ada kalanya guru harus menunjukkan jalan, menyuruh anak, mengatakan kepada mereka apa yang harus dilakukan dan bila perlu melarang mereka apabila melakukan sesuatu yang menyimpang dan merugikan.
Guru yang membiarkan anak didiknya melakukan apa yang mereka inginkan tanpa memberi bimbingan, justru akan mengakibatkan anak didiknya mengalami gangguan mental karena tidak mempunyai pegangan yang tegas dalam hidupnya akibat kebebasan yang berlebihan, sehingga ia tidak tahu norma-norma yang menjadi ukuran tingkah laku mereka. 
c) Kesulitan Dalam Belajar
Guru yang mengajar dengan baik adalah guru yang profesional. Guru dituntut untuk memotivasi dan melibatkan siswa dalam proses belajar dengan menggunakan gaya (style), strategi serta tehnik belajar yang sesuai dengan konteks pembelajaran. Tugas-tugas pembejaran disusun demi kebutuhan-kebutuhan belajar individu, dan pebedaan-perbedaan latar belakang siswa serta mengoptimalkan waktu belajar. Perlunya memperhitungkan efek-efek perbedaan kemampuan fisik, intelektual, dan ketersediaan alam selama proses belajar dengan mengingat bahwa siswa mempunyai potensi untuk tumbuh dan berkembang. Untuk itulah, gaya mengajar guru harus mengacu pada perbedaan individu siswa supaya tidak terjadi pembodohan kepada siswa.









Berdasarkan uraian di atas dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

1. Pendidikan sebagai suatu sistem pencerdasan anak bangsa saat ini dihadapkan pada berbagai pesoalan tantangan globalisasi. 

2. Berbagai persoalan pembelajaran terutama yang menyangkut metode pembelajaran yang tepat bagi anak didik perlu dicari jalan tengah yang terbaik sebagai solusinya.

3. Sejalan dengan tantangan kehidupan global, peran dan tanggung jawab guru pada masa mendatang akan semakin kompleks, sehingga menuntut guru untuk senantiasa melakukan berbagai peningkatan dan penyesuaian penguasaan kompetensinya.

Penutup

Pelaksanaan pendidikan selama ini diwarnai dengan pendekatan swara negara (state driven). Di masa yang akan datang hendaknya pendidikan berorientasi pada aspirasi masyarakat. Pendidikan harus mengenali siapa pelanggannya, dan dari pengenalan ini pendidikan memahami aspirasi dan kebutuhannya (need assessment). Setelah mengetahui aspirasi dan kebutuhan masyarakat, baru ditentukan sistem pendidikan, kurikulum yang tepat, dan persyaratan pengajarnya.
BIBLOGRAFI
Abu> Hamid al-Ghazaly>, Muhammad bin Muhammad. Mukhtasar Ihya>’ Ulu>m al-Di>n, jilid I. Beirut: Da>r al-Fikr, 1993



Al-Abrashi, Muhammad ‘Atiyah. al-Tarbiyah al-Islamiyah wa Fala>sifatuha>. Beirut: Da>r al-Fikr, tt. 



Bawani, Imam. Eksistensi Manusia Dalam Konsep Pendidikan Islam. Laporan Penelitian Individual. Surabaya: IAIN Sunan Ampel, 2005.

Budingsih, Asri. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Rineka Cipta, 2005.

B. Uno, Hamzah. Profesi Kependidikan, Problema, Solusi, dan Reformasi Pendidikan di Indonesia. Jakarta: Bumi Aksara, 2007.

Glover, Derek. Law, Sue. Improving Learning, Professional Practice in Secondary School. Terj. Willlie Koen. Jakarta: PT Grasindo, 2002.

Mursell, J. Nasution, S. Mengajar Dengan Sukses (Succesful Teaching). Jakarta: Bumi Aksara, 1995.

Nasution, S. Berbagai Pendekatan dalam Prosses Belajar & Mengajar. Jakarta: Bumi Akasara, 2006.
Tilaar, H.A.R. Standarisasi Pendidikan Nasional, suatu tinjauan kritis. Jakarta: Rineka Cipta, 2006.
Sanjaya, Wina. Strategi Pembelajaran, Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta: Kencana, 2006.
Sudjana, Nana. Rivai, Ahmad. Teknologi Pengajaran. Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2003. 
Suryosubroto. Beberapa Aspek Dasar-dasar Kependidikan. Jakarta: Rineka Cipta, 1998.
Sutrisno. Revolusi Pendidikan di Indonesia, Membedah Metode dan Tehnik Pendidikan Berbasis Kompetensi. Yogjakarta: Ar-Ruuz, 2005.



Problem Pendidikan Alternatif

Oleh: Baktiar Nurdin

Dunia pendidikan di tanah air selama ini, terasa tidak lebih dari apa yang disebut dengan pabrik intelektual. Sedangkan hakikat pendidikan seutuhnya seakan terabaikan begitu saja. Mengidentifikasikan bahwa dunia pendidikan kita telah mengalami pergeseran dari nilai-nilai sejatinya. Digantikan dengan produk-produk egoisme diri dan kebinatangan yang semakin serakah, tidak adil dan hampa akan nilai-nilai filosofis. Aksentuasinya terletak pada pembentukan watak dan wawasan para intelektual kita yang hanya terjebak pada nilai-nilai kehidupan yang kering akan moralitas dan etika dalam kehidupan bermasyarakat.
Asumsi itu tidak lain didasarkan adanya beragam fakta yang menunjukkan bahwa di segala jenjang dan bidang kehidupan di negeri ini mengalami krisis filosofi hidup. Mereka yang terdidik justru menjadi koruptor sedangkan mereka yang tidak terdidik malah menjadi maling. Ada pula golongan yang kebingungan, lalu menjadi tukang pengisap sabu-sabu dan terjerumus pada narkoba. Padahal tujuan pendidikan sebenarnya adalah melahirkan individu-individu yang merdeka, matang, bertanggungjawab dan peka terhadap permasalah sosial di lingkungan sekitarnya.
Dalam pusaran arus globalisasi misalnya, kenyataan di lapangan memperlihatkan pendidikan kita juga belum mampu menciptakan peserta didik yang kritis dan memiliki kemampuan dalam menghadapi tantangan global yang kian menindas dan mencengkram. Dalam keadaan inilah pendidikan mestinya tidak bebas nilai, sebaliknya pendidikan haruslah berkepentingan. Kepentingan-kepentingan untuk melahirkan calon-calon penerus bangsa ini yang mampu menghadapi segala tantangan yang akan dihadapi bangsa ini di masa mendatang.
Kondisi dunia pendidikan yang semakin digerogoti oleh semangat kapitalisme. Sebuah studi kritik atau problematisasi terhadap modernisme pendidikan. Mengupas tuntas beberapa dampak nalar filsafat modern terhadap penyelenggaran pendidikan termasuk didalamnya semangat pengetahuan yang dikembangkan. Kita dibuat bukan lagi menjadi diri kita sendiri, melainkan kita hanya menjadi representasi dari ambisi dan keserakahan sistem kapitalisme.
Membahas secara tuntas berbagai kebobrokan sistem dan kebijakan pendidikan serta berbagai akibat yang ditimbulkan. Permasalah-permasalah pendidikan di tanah air yang juga tidak pernah terlepas dari politik penguasa terhadap dunia pendidikan itu sendiri.
Rasionalisme, Empirisme, Positivisme dan Saintisme telah menjadi tren pengetahuan yang tidak dapat dihindari bahkan disakralkan. Singkatnya, di era kapitalisme yang sedang berkuasa ini, pendidikan berarti membangun komformitas kesadaran peserta didik dengan struktur pengetahuan dan sistem sosial yang sedang berlaku. Manusia sudah tidak lagi menjadi subjek, tetapi menjadi objek dari regulasi sistem pengetahuan dan sistem sosial yang telah tercipta sebelumnya.
Seorang futurology yang cukup terkenal, Alfin Tofler, menggunakan istilah “kejutan masa depan” untuk menggambarkan situasi sekarang yang membuat kita terlempar pada suatu kondisi dimana kita mengalami tekanan yang mengguncang dan menghilangkan orientasi individu disebabkan kita dihadapkan dengan terlalu banyak perubahan dalam waktu yang terlalu singkat.[1]
Konsep pendidikan alternatif yang harus diimplementasikan dewasa ini adalah konsep pendidikan yang bervisi transformatif sekaligus berwawasan global. Model pendidikan yang bersifat kooperatif terhadap segala kemampuan peserta didik menuju proses berfikir yang bebas dan inovatif. Menghargai sekaligus mengembangkan potensi yang dimiliki setiap individu dengan membiarkan potensi-potensi itu tumbuh dan berkembang secara wajar dan manusiawi bukan malah dimatikan dengan berbagai bentuk penyeragaman dan sanksi.
Pendidikan kritis transformatif pada dasarnya adalah model pendidikan yang bersifat kooperatif. Memberikan ruang pada segenap kemampuan peserta didik menuju proses berpikir yang lebih bebas dan kreatif. Sebuah model pendidikan yang menghargai potensi yang ada pada setiap individu-indvidu anak didik. Bentuk pendidikan yang memiliki arah dan tujuan keluar dari kemelut dan problematikan internal maupun eksternal yang dihadapi oleh dunia pendidikan nasional.
Dalam pendidikan kritis transformatif, ilmu pengetahuan adalah sesuatu yang dikomunikasikan oleh makna narasi atau yang disebut dengan grand narasi. Grand narasi adalah sesuatu yang diklaim sebagai suatu teori yang dapat menjelaskan segala sesuatunya. Konsep pendidikan seperti ini akan membentuk peserta didik sebagai subjek yang akan menentang adanya struktur hierarki ilmu pengetahuan.
Secara umum dalam makalah ini mengulas gagasan-gagasan konstruktif dan mendetail atas konsep pendidikan altenatif dalam mengkritisi dunia pendidikan dewasa ini. Bentuk pendidikan yang berorientasikan pada pendidikan kritis transformatif. Sebuah konsep pendidikan alternatif yang diharapkan mampu menyiapkan bekal bagi setiap peserta didik dalam menghadapi dan memecahkan problem hidup dan kehidupan. Konsep pendidikan yang selalu mengedepankan nilai-nilai humanis dalam kehidupan namun juga mampu membaca kondisi riil masyarakat di dunia global saat ini serta berwawasan masa depan. Menjadikan buku ini teramat penting untuk kiranya dapat kita jadikan referensi bersama.
Jika di negara-negara maju, penyelenggaraan pendidikan telah membuktikan hasil nyata. Dalam beberapa abad terakhir ini perkembangan pendidikan mengalami kemajuan pesat dan spektakuler terutama dalam hal rekayasa ilmu pengetahuan dan teknologi. Mendorong kehidupan masyarakat menjadi tangguh dan berkecukupan. Segala kebutuhan hidup bermasyarakat dapat terpenuhi secara lebih mudah dalam waktu yang cepat dan praktis. Era teknologi dan perindustrian, sebagai salah satu cermin kemajuan pendidikan kontemporer.[2]
A.    Pengertian
Istilah pendidikan alternatif merupakan istilah khusus dari berbagai program pendidikan alternatif memiliki karakteristik sebagai berikut: pendekatannya bersifat individual, memberi perhatian besar (kepada peserta didik, orang tua/keluarga, dan pendidik) serta dikembangkan berdasarkan minat dan pengalaman.
Kelas terbuka yang secara sederhana berarti bahwa masing-masing subjek diajar dengan memperkenalkan berbagai aktifitas dan pengalaman yang dapat dipilih oleh siswa sesuai dengan minat dan kemampuannya masing-masing. Masing-masing siswa dinilai menurut usaha dan kemajuan yang mereka capai dan mereka hanya bersaing dengan dirinya sendiri. Setiap pekerjaan atau tugas yang telah mereka selesaikan dibuat catatan yang terperinci, dan dibahas dalam konferensi antar siswa dan para guru guna membantu mereka memahami keterampilan apa yang mereka butuhkan untuk berkembang dan tujuan belajar individual mereka. Orang tua diberi laporan kemajuan belajar anak secara utuh dan terperinci, dan secara berkala diundang untuk mengikuti konferensi antara siswa dan guru.
B.     Macam-Macam Pendidikan Alternatif
Menurut Jery Mintz (1994) pendidikan alternatif dapat dikategorikan dalam empat bentuk pengorganisasian, yaitu:
1.      Sekolah Umum Pilihan (Public Choice)
Sekolah umum pilihan adalah lembaga pendidikan dengan biaya negara (dalam pengertian sehari-hari disebut sekolah negeri) yang menyelenggarakan program belajar dan pembelajaran yang berbeda dengan program regular (konvensional), namun mengikuti sejumlah aturan baku yang telah ditentukan. Contoh : SMP Terbuka, SMA Terbuka, Sekolah Bibit (Taruna Nusantara, Sekolah Analisis Kimia, dan SMA Angkasa ), dan Kejar Paket (A, B, dan C).
Pendidikan kesetaraan meliputi program Kejar Paket A setara SD (6 tahun) ,Paket B setara SMP (3 tahun), dan Paket C setara SMA (3 tahun). Program ini semula ditujukan bagi peserta didik yang berasal dari masyarakat yang kurang beruntung, tidak pernah sekolah, putus sekolah dan putus lanjut, serta usia produktif yang ingin meningkatkan pengetahuan dan kecakapan hidup. Tidak ada batasan usia dalam program kesetaraan ini. Pegawai negeri, ABRI, anggota DPR, karyawan pabrik banyak yang memanfaatkan program kesetaraan ini untuk meningkatkan kualifikasi ijazah mereka.
Definisi mengenai setara adalah sepadan dalam civil effect, ukuran, pengaruh, fungsi dan kedudukan. Sebagaimana yang tercantum dalam UU No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 26 Ayat (6) bahwa " Hasil pendidikan nonformal dapat dihargai setara dengan hasil program pendidikan formal setelah melalui proses penilaian penyetaraan oleh lembaga yang ditunjuk oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah dengan mengacu pada standar nasional pendidikan."
Oleh karena itu, pengertian pendidikan kesetaraan adalah jalur pendidikan nonformal dengan standar kompetensi lulusan yang sama dengan sekolah formal, tetapi kontens, konteks, metodologi, dan pendekatan untuk mencapai standar kompetensi lulusan tersebut lebih memberikan konsep terapan, tematik, induktif, yang terkait dengan permasalahan lingkungan dan melatihkan kecakapan hidup berorientasi kerja atau berusaha sendiri. Dengan demikian pada standar kompetensi lulusan diberi catatan khusus. Catatan khusus ini meliputi: pemilikan keterampilan dasar untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari (Paket A), pemilikan keterampilan untuk memenuhi tuntutan dunia kerja, dan pemilikan keterampilan berwirausaha (Paket C).
2.      Sekolah / Lembaga Pendidikan Umum untuk Siswa Bermasalah (student at risk)
Sekolah/lembaga pendidikan umum untuk siswa bermasalah adalah lembaga pendidikan yang diselenggarakan untuk anak-anak bermasalah. Pengertian “siswa bermasalah” di sini meliputi mereka yang:
• tinggal kelas karena lambat belajar,
• nakal atau mengganggu lingkungan (termasuk lembaga permasyarakatan anak),
• korban penyalahgunaan narkoba,
• korban trauma dalam keluarga karena perceraian orang tua, ekonomi, etnis/budaya (termasuk bagi anak suku terasing dan anak jalanan dan gelandangan),
  putus sekolah karena berbagai sebab,
• belum pernah mengikuti program sebelumnya. Namun tidak termasuk di dalamnya sekolah luar biasa yang dibangun untuk penyandang kelainan fisik dan/atau kelainan mental seperti tunarungu, tunanetra, tunadaksa, dsb. Contoh : SLB E (tunalaras)
Bentuk Layanan Pendidikan bagi Anak Tunalaras
1. Penyelenggaraan bimbingan dan penyuluhkan di sekolah regular kelas khusus bila anak tunalaras perlu belajar terpisah dari teman sekelas.
2. SLB-E (bagian tunalaras) tanpa asrama
3. SLB-E dengan asrama, bagi anak yang tingkat kenakalan berat
4. Terapi perilaku sosial
5. Terapi kelompok (peer teaching).
Bentuk satuan dan lama pendidikan bagi anak Tunalaras
1. SDLB lama pendidikan sekurang-kurangnya 6 tahun
2. SLTPLB lama pendidikan sekurang-kurangnya 3 tahun.
3. SMALB lama pendidikan sekurang-kurangnya 3 tahun
Tenaga Kependidikan bagi anak Tunalaras adalah:
1. Kepala Sekolah
2. Wakil Kepala Sekolah
3. Guru berlatar belakang PLB
4. Anggota masyarakat yg mempunyai keahlian atau kemampuan yg di butuhkan oleh anak tunalaras.
Program pembinaan sekolah anak Tunalaras
1.  Sistem pengajaran
a. Sistem pengajaran yang bersifat penyuluhan (remedial teaching). Tujuan pengajaran ini adalah membantu murid dalam kesulitan belajar.
b. Sistem pengajaran klasikal
2. Program Bimbingan penyuluhan
a. program bimbingan penyuluhan suasana hidup beragama di asrama
b. program keterampilan
c. program belajar di sekolah regular
d. program bimbingan kesenian
e. program kembali ke orang tua
f. program kembalu ke masyarakat
g. program bimbingan kepramukaan
Kurikulum dan program pengajaran bagi anak Tunalaras:
1. Kurikulum SDLB terdiri dari :
a. program Umum
b. program Khusus (disesuaikan dengan jenis kelainan siswa)
c. program Muatan Lokal (disesuaikan dengan kebutuhan lingkungan)
2. Kurikulum SLTPLB terdiri dari :
a. program Umum
b. program Khusus
c. program Muatan Lokal
d. program pilihan (program yang berisi paket keterampilan dgn tujuan untuk membekali siswa hidup mandiri dalam masyarakat).
3. Kurikulum SMALB
a. program Umum
b. program Pilihan
3.   Sekolah / Lembaga Pendidikan Swasta (Independent)
Sekolah/Lembaga Pendidikan Swasta mempunyai jenis, bentuk dan program yang sangat beragam, termasuk di dalamnya program pendidikan bercirikan agama seperti pesantren & sekolah Minggu: lembaga pendidikan bercirikan keterampilan fungsional seperti kursus atau magang: lembaga pendidikan dengan program perawatan atau pendidikan usia dini seperti penitipan anak, kelompok bermain dan taman kanak-kanak.
Sekolah Alam
Dalam konsep pendidikan Sekolah Alam, fungsi alam antara lain :
1. Alam sebagai ruang belajar
2. Alam sebagai media dan bahan ajar
3. Alam sebagai objek pembelajaran
Proses pembelajaran Sekolah Alam menyandarkan pada 4 (tiga) pilar :
1. Pengembangan akhlak melalui teladan (Learning by Qudwah) melalui konsep tauladan pengembangan EQ (Emotional Quotient) dan SQ (Spiritual Quotient) yang diimplementasikan secara praktis.
2. Pengembangan logika dan daya cipta melalui Expreriental Learning disusun secara holistik menggunakan spider web agar logika ilmiah siswa berkembang secara integral. Sehingga mampu atau terbiasa mengamati fenomena alam, mencatat data, melakukan eksperimen, dan membentuk sebuah teori.
3. Pengembangan kepemimpinan dengan metode Outbond Training kegiatan utama berupa Outbond mental education untuk membentuk karakter anak yang memuncak pada kepemimpinan dengan mengembangkan nilai-nilai adil, amanah, musyawarah, kerjasama, melindungi, mengayomi, membela kaum tertindas dan menjaga keseimbangan alam semesta.gai penunjang KBM, dengan penekanan pada pengelolaan fasilitas yang terdapat di Sekolah Alam Cikeas agar berfungsi optimal.
4. Pengembangan kemampuan berwirausaha
4.    Pendidikan di rumah (home-based schooling)
Pendidikan di rumah termasuk dalam kategori ini adalah pendidikan yang diselenggarakan oleh keluarga sendiri terhadap anggota keluarganya yang masih dalam usia sekolah. Pendidikan ini diselenggarakan sendiri oleh orang tua atau keluarga dengan berbagai pertimbangan, seperti: menjaga anak-anak dari kontaminasi aliran atau falsafah hidup yang bertentangan dengan tradisi keluarga (misalnya pendidikan yang diberikan keluarga yang menganut fundalisme agama atau kepercayaan tertentu); menjaga anak-anak agar selamat dan aman dari pengaruh negatif lingkungan; menyelamatkan anak-anak secara fisik maupun mental dari kelompok sebayanya; menghemat biaya pendidikan; dan berbagai alasan lainnya.
Homeschooling (Sekolah rumah), menurut Direktur Pendidikan Masyarakat Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) Ella Yulaelawati, adalah proses layanan Pendidikan yang secara sadar, teratur dan terarah dilakukan oleh orang tua atau keluarga dan proses belajar mengajar pun berlangsung dalam suasana yang kondusif.
Tujuannya, agar setiap potensi anak yang unik dapat berkembang secara maksimal. Rumusan yang sama juga dipegang oleh lembaga-lembaga pendidik lain yang mulai menggiatkan sarana penyediaan program Homeschooling.
Ada beberapa klasifikasi format Homeschooling, yaitu:
1.  Homeschooling tunggal
    Dilaksanakan oleh orangtua dalam satu keluarga tanpa bergabung dengan lainnya karena hal tertentu atau karena lokasi yang berjauhan.
2.  Homeschooling majemuk
Dilaksanakan oleh dua atau lebih keluarga untuk kegiatan tertentu sementara kegiatan pokok tetap dilaksanakan oleh orangtua masing-masing. Alasannya: terdapat kebutuhan-kebutuhan yang dapat dikompromikan oleh beberapa keluarga untuk melakukan kegiatan bersama. Contohnya kurikulum dari Konsorsium, kegiatan olahraga (misalnya keluarga atlit tenis), keahlian musik/seni, kegiatan sosial dan kegiatan agama
3. Komunitas Homeschooling
Gabungan beberapa Homeschooling majemuk yang menyusun dan menentukan silabus, bahan ajar, kegiatan pokok (olah raga, musik/seni dan bahasa), sarana/prasarana dan jadwal pembelajaran. Komitmen penyelenggaraan pembelajaran antara orang tua dan komunitasnya kurang lebih 50-5
C.    Perlunya Alternatif Pendidikan
Perlu diingat bahwa implementasi program alternative tidak semata-mata karena tersedianya alternative yang berbeda-beda, tapi lebih ditekankan pada pemahaman yang lebih baik terhadap kebutuhan anak-anak yang mengalami gangguan emosi. Ada beberapa faktor mengapa program alternative dibutuhkan, antara lain:
1.      Pendidikan tidak hanya dapat memodifikasi prilaku yang ada, tapi juga dapat menciptakan cara-cara baru untuk bertindak.
2.      Beberapa prilaku anak-anak yang mengalami gangguan saling berkaitan dengan sikap negatif mereka di sekolah dan masyarakat.
3.     Anak-anak yang dianggap mengalami gangguan emosi, trouble atau nakal nampak menarik diri secara psikologis dari sekolah.
Berikut ini adalah beberapa pertimbangan-pertimbangan yang spesifik mengapa program alternatif sangat diperlukan (Knoblok, 1983):
1.    Diskriminasi Rasial
Di Amerika pengungkapan yang berlebihan tentang anak-anak yang minoritas di dalam kelas khusus untuk anak yang mengalami gangguan emosi tidak mendominasi kota-kota besar. Di Boston kurang dari 20 % anak dengan gangguan emosi adalah berkulit hitam. Mereka memperoleh penanganan yang signifikan dengan menggunakan evaluasi dan criteria penempatan yang subyektif dan bukan secara obyektif.
2.     Putus Sekolah
Pada sebagian besar sistem persekolahan, angka putus sekolah khususnya anak yang mengalami gangguan emosi dan melakukan kejahatan sangat tinggi. Karena belum adanya kriteria yang dapat diterima umum tentang siapa anak yang dianggap putus sekolah, sekolah-sekolah menggunakan berbagai kriteria untuk menentukan siapa anak yang dianggap putus sekolah.
Angka putus sekolah untuk program pendidikan khusus seringkali lebih sulit diperoleh sebab pada program itu hampir tidak ada perjenjangan. Oleh sebab itu, statistik siswa berdasarkan jenjang pendidikan pada progam pendidikan khusus pada umumnya tidak tersedia.
Dengan memahami alasan-alasan atau pertimbangan mengapa anak-anak atau remaja itu meninggalkan sekolah, dapat dijadikan sebagai dasar pertimbangan rasional untuk mengembangkan program alternatif.



KESIMPULAN
Istilah pendidikan alternatif merupakan istilah khusus dari berbagai program pendidikan alternatif memiliki karakteristik sebagai berikut: pendekatannya bersifat individual, memberi perhatian besar (kepada peserta didik, orang tua/keluarga, dan pendidik) serta dikembangkan berdasarkan minat dan pengalaman.
Macam-Macam Pendidikan Alternatif
1.   Sekolah Umum Pilihan (Public Choice)
2.   Sekolah / Lembaga Pendidikan Umum untuk Siswa Bermasalah (student at risk)
3.   Sekolah / Lembaga Pendidikan Swasta (Independent)
4.    Pendidikan di rumah (home-based schooling)
1.  Homeschooling tunggal                     
2.  Homeschooling majemuk
3. Komunitas Homeschooling





[1]  Nurani Soyomukti, Pendidikan Berprespektif Globalisasi, Jogjakarta, Ar-Ruzz Media, 2010, hal. 41.
[2]  Ahmad Makki Hasan, dalam http://ahmadmakki.wordpress.com/2009/06/10/konsep-pendidikan-alternatif