Kamis, 25 Juni 2015

DINASTI FATIMIYAH DAN PERANG SALIB

Oleh: Baktiar Nurdin

Kelahiran Dinasti Fatimiyah
Loyalitas terhadap Ali bin Abi Thalib adalah isu terpenting bagi komunitas islam syi’ah untuk mengembangkan konsep Islamnya melebihi isu hukum dan mistisme. Pada abad ke VII dan ke VIII masehi isu tersebut mengarah pada gerakan politis dalam bentuk perlawanan kepada khalifah Umayyah dan Abbasiyah yang direalisasikan dengan upaya keras untuk merebut khalifah. Namun perjuangan mereka yang begitu lama dan berat untuk merebut kekuasaan ternyata belum membuahkan hasil. Justru secara politis kaum islam syi’ah mengalami penindasan dari khalifah Umayyah dan Abbasiyah.
Meski khalifah Abbasiyah mampu berkuasa dalam tempo yang begitu lama, akan tetapi periode keemasannya berlangsung singkat. Puncak kemerosotan khlifah-khalifah Abbasiyah ditandai dengan berdirinya khilafah-khilafah kecil yang melepaskan diri dari kekuasaan politik khilafah Abbasiyah.
Salah satu diantaranya adalah Fatimiyah yang berasala dari golingan syi’ah sekte Ismailiyah yakni sebuah aliran sekte di syi’ah yang lahir akibat perselisihan tentang pengganti imam Ja’far Al-Shadiq yang hidup antara tahun 700-756 M. Fatimiyah hadir sebagai tandinagan bagi penguasa Abbasiyah yang berpusat di Bagdad yang tidak mengakui kekhalifahan Fatimiyah sebagai keturunan Rasulullah dari Fatimah. Karena mereka menganggap bahwa merekalah ahlul bait sesungguhnya dari Bani Abbas.
Dinasti Fatimiyah adalah satu-satunya Dinasti Syi’ah dalam islam. Dinasti ini didirikan di Tunisia pada 909 M., sebagai tandingan bagi penguasa dunia muslim saat itu yang terpusat di Baghdad, yatu Bani Abbasiyah. Dinasti Fatimiyah didirikan oleh Sa’id ibn Husayn.[1]
Fatimiyah adalah penguasa syi’ah yang berkuasa diberbagai wilayah maghrib, mesir dan syam dari tahun 909 sampai 1171 M. negeri ini dikuasai oleh Ismailiyah, salah satu cabang syi’ah. Fatimiyah menisbahkan nasbnya sampai ke Fatimah putri Rasulullah dan istri Ali bin Abi Thalib. Karena itu menamakan Fatimiyah.[2]
Pandangan sejarawan muslim mengenai keaslian dan keabsahan silsilah al-Syi’I sebagai keturunan Fatimah terbagi mejadi dua kelompok. Beberapa sejarawan yang mendukung keabsahan silsilahnya adalah Ibn al-Atsir, ibn Khaldun, dan al-Maqrizi. Sedangkan kalangan yang menyangkal silsilah keturunan itu, adalah Ibn Khallikan, Ibn al-Idzari, al-Syuyuthi, dan Ibn Taghri-Birdi.[3]
Jawhar menjadi pendiri Dinasti Fatimiyah yang kedua setelah al-Syi’i yangdaerah kekuasaannya meliputi seluruh wilayah Afrika Utara. Setelah kedudukannya di Mesir kokoh, Jawhar mulai melirik Negara tetangganya, suriah, dan berhasil menaklukkan Damaskus. Lawan utama Jawhar adalah sekte Qaramitah yang pada saat itu berkuasa di beberapa daerah di Suriah.[4]
Dalam perkembangannya khilafah Fatimiyah mampu membangun system perpolitikan yang begitu maju dan juga ilmu pengetahuan yang begitu berkembang pesat, namun sebagaimana kekhalifahan sebelumnya. Khilafah Fatimiyah juga mengalami keunduran dan kehancuran.
Dinasti Fatimiyah merupakan khalifah berlairan syi’ah yang berkuasa di Mesir pada tahun 297/909 M sampai 567/1171 M selama kurang lebih 262 tahun. Para penguasa yang pernah berkuasa adalah:
1.      Al-Mahdi (909-934)
2.      Al-Qa’im (934-946)
3.      Al-Manur (946-953)
4.      Al-Mu’izz (953-975)
5.      Al-Aziz (975-996)
6.      Al-Hakim (996-1021)
7.      Al-Zhahir (1021-1035)
8.      Al-Mustanshir (1035-1094)
9.      Al-Musta’li (1094-1101)
10.  Al-Amir (1101-1130)
11.  Al-Hafizh (1130-1149)
12.  Az-Zhafir (1194-1154)
13.  Al-Fa’iz (1154-1160)
14.  Al-Adhid (1160-1171)

Puncak Kejayaan Dinasti Fatimiyah
Dinasti Fatimiyah mencapai puncaknya pada periode Mesir, terutama pada kepemimpinan Al-Mu’izz, Al-Aziz dan Al-Hakim. Puncaknya adalah masa Al-Aziz. Sepanjang kekuasaan Abu Manshur Nizar al-Aziz (975-996), kerajaan Mesir senantiasa diliputi kedamaian. Ia adalah khalifah Fatimiyah yang kelima dan khalifah pertama yang memulai pemerintahan di Mesir. Dibawah kekuasaannyalah Dinasti Fatimiyah mencapai puncak kejayaannya. Nama sang khlifah selalu disebut-sebut dalam khutbah-khutbah jua’at di sepanjang wilayah kekuasaannya yang membentang dari Atlantik hingga laut merah, juga di masjid-masjid Yaman, Mekkah, damaskus, bahkan di Mosul. Kekuasaannya meliputi wilayah yang sangat luas. Di bawah kekuasaannya, kekhalifahan Masir tidak hanya menjadi lawan tangguh bagi kekhalifahan di Baghdad, tapi bisa dikatakan bahwa kekhalifahan itu menenggelamkan penguasa Baghdad, dan ia berhasil menempatkan kekhalifahan Fatimiyah sebagai Negara islam terbesar di kawasan Mediterania Timur. Al-aziz menghabiskan dua juta dinar untuk membangun istana yang dibangun menyaingi istana Abbasiyah.
Pada masa ini perluasan wilayah dan pembangunan dalam kerjaan dan wilayah kerajaan, istana khalifah bisa menampung 30.000 tamu, masjidnya sangat megah, istana khalifah mempekerjakan 30.000 orang, 12.000 diantaranya adalah pelayan dan 1000 orang pengurus kuda, tujuh buah perahu berukuran 150 kubik dengan 60 tiang pancang, berlabuh disungai Nil. Sang Khalifah memiliki 20.000 rumah di Ibu kota. Ia juga memiliki ribuan toko yang bisa menghasilkan dua hingga sepuluh dinar perbulan. Jalan-jalan utama diberi atap dan diberi lampu. perhubungan sangat lancer , dan keamanan terjamin. Perekonomian dibangun baik dari sector pertanian, perdagangan maupun industry sesuai dengan perkembangan teknologi pada waktu itu. Sumbangan dinasti Fatimiyah terhadap peradaban islam sangat besar, baik dalam system pemerintahan, kebudayaan, politik maupun dalam bidang ilmu pengetahuan.[5]
Khalifah al-Aziz adalah khalifah yang paling bijaksana dan paling murah hati. Dia hidup dikota Kairo yang mewah dan cemerlang, dikelilingi beberapa masjid, istana, jembatan, dank anal-kanal yang baru, serta  memberikan toleransi yang tak terbatas kepada umat keristen, sesuatu yang tidak pernah mereka rasakan sebelumnya.
Dinasti dapat maju antara lain karena: militernya kuat, administrasi pemerintahannya baik, ilmu pengetahuan berkembang, dan ekonominya stabil. Namun setelah al-Aziz dinasti mengalami kemunduran dan akhirnya hancur, setelah berkuasa selama 262 tahun.[6]
Dibidang pemerintahan, fatimiyah berhasil mendirikan sebuah Negara yang sangat luas dan di dasarkan atas prinsip keagamaan, peradaban yang berlainan yang jarang disaksikan di Timur. Dan system administrasinya sangat baik sekali, luas toleransi religiusnya, efesiensi angkatan perang dan angkatan lautnya, kejujuran pengadilan-pengadilannya, dan terutama adalah perlindungan terhadap ilmu pengetahuan dan kebudayaannya.
Dalam perkembangannya khilafah Fatimiyah mampu membangun system kepemerintahan yang begitu maju dan ilmu pengetahuan yang juga berkembang dengan pesat, namun sebagaimana dinasti kekhalifahan sebelumnya dinasti Fatimiyah juga mengalami kemunduran dan kehancuran.

Kemunduran Dinasti Fatimiyah
Kemunduran dinasti Fatimiyah dengan cepat terjadi setelah kekuasaan al-Aziz. Keruntuhan itu diawali dengan munculnya kebijakan untuk mengimpor tentara-tentara dari Turki dan Negro sebagaimana yang duilakukan Dinasti abbasiyah. Ketidakpatuhan dan perselisihan yang terjadi di antara mereka, serta pertikaian dengan pasukan dari Berber menjadi salah satu sebab utama keruntuhan Dinasti ini. Adalah para prajurit dan budak-budak yang berasal dari Sircasse dan Turki yang kemudian merebut kekuasaan puncak dari tangan keluarga Fatimiyah, kemudian mendirikan dinasti-dinasti baru.[7]
Pengganti al-Aziz, Abu Ali Manshur al-Hakim (996-1021) baru berumur 11 tahun ketika naik tahta. Pemerintahnya ditandai dengan tindakan-tindakan kejam yang menakutkan. Ia membunuh beberap orang wazirnya, menghancurkan beberapa gereja keristen, termasuk didalamnya kuburan suci umat Kristen.
Karena al-Hakim masih terlalu muda ketika diangkat menjadi khlifah, kekuasaan sesungguhnya berada ditangan para wazir, yang kemudian sering mendapat julukan kebangsawanan al-malik. Anak dan pengganti al-Hakim, yaitu al-Zahir (1021-1035) berumur 16 tahun ketika naik tahta. Pengganti al-Zahir adalah anaknya yang berusia 11 tahun , ma’ad al-Mutashir (1035-1094), yang berkuasa hampir 60 tahun, sebuah periode kekuasaan terpanjang dalam Sejarah islam.[8]
Sejak kekuasaan Ma’ad al-Muntashir kekacauan terjadi dimana-mana. Kericuhan dan pertikaian terjadi di antara orang-orang turki, suku Berber dan pasukan sudan. Kekuasaan Negara lumpuh. Kelaparan yang terjadi selama tujuh tahun telah melumpuhkan perekonomian Negara.
Tahun-tahun terakhir kekuasaan Fatimiyah, ditandai dengan munculnya perseteruan terus menerus antara para wazir yang didukung oleh kelompok tentaranya masing-masing. Ketika al-Mustanshir meninggal, al-Malik al-Afdhal menempatkan anak khlifah paling muda yaitu berumur lima tahun sebagai khalifah denganjulukan al-Musta’li (1101-1130) dengan harapan bahwa ia akan memerintah dibawah pengaruhnya. Ketika al-Hafidh (1130-1149) meninggal, ekuasaan-kekuasaannya betul-betul hanya sebatas istana kekhalifahan.
Pamor Dinasti Fatimiyah karena semakin banyaknya khalifah yang diangkat dalam usia yang sangat belia, disamping mereka hanya menjadi boneka para wazir juga timbul konflik kepentingan dikalangan militer antara unsure Barbar, Turki bani Hamdan dan Sudan. Terlebih lagi para penguasa itu selalu tengelam dalam kehdupan yang mewah dan adanya pemaksaan ideology syi’ah pada rakyat yang mayoritas sunni.
Dalam kondisi khilafah yang sedang lemah, konflik kepentingan diantara pejabat dan militer dan ketidak puasan rakyat atas kebijakan pemerintah, muncul baying-bayang serbuan tentara salib.

PERANG SALIB
Perang salib merupakan perang terlama dalam sejarah dunia, yaitu peperangan yang berlangsung selama  dua abad (200 tahun), dari tahun 1095 sampai tahun 1254 M. perang salib melibatkan bangsa-bangsa beragama Kristen, yaitu Prancis, Jerman, Inggris dan Negara Bizantium, para prajurit yang terlibat mengenakan lencana salib dan pakaian mereka memiliki symbol salib di dadanya, oleh Karena itu dinamakan perang salib.

Sebab-sebab Terjadinya Perang Salib
Dilihat dari seting perkembangan sejarah, perang salib terletak pada bagian pertengahan dalam sejarah panjang interaksi Timur dan Barat, yang bagian awalnya tergambar dalam bentuk perang kuno antara bangsa Troya dan bangsa Persia, sedangkan perluasan imperialism Eropa Barat menjadi penutup babak sejarah itu. Ada beberapa sebab terjadinya perang salib, diantaranya adalah, yaitu kecendrungan gaya hidup nomaden dan militeristik suku-suku teotonik Jerman yang telah mengubah peta Eropa sejak mereka memasuki babak sejarah. Perusakan Makam Suci milik gereja, tempat ziarah ribuan orang Eropa. Keadaan itu semakin parah karena para peziarah merasa keberatan untuk melewati wilayah muslim di Asia Kecil (Turki). meski demikian, sebab utama perang salib adalah permohonan kaisar Alexius Comnesus kepada Paus Urban II pada tahun 1095 untuk membantunya, karena kekuasaannya telah diserang oleh Bani Saljuk di sepanjang pesisir Marmora yang mengancam Konstantinopel.[9]
Klasifikasi periode dan pembagian perang salib. Philip K. Hitti, membagi periode perang salib menjadi tujuh periode dan menyederhanakan menadi tiga priode, (meskipun enurutnya tidak ada batasan yang jelas karena peperangan berlangsung terus menerus dengan kelompok yang bervariasi, adang-kadang berskala besar dan sekali-kali berskala kecil).
Periode pertama, Pada tanggal 26 Nopember 1097 paus Urban menyampaikan pidatonya di hadapan 150.000 manusia, mereka menyambut seruan untuk berkumpul di Konstantinopel. Pada saat itulah gendering perang salib ditabuh, disebut perang salib karena salib dijadikan lencana sebagai symbol pemersatu untuk menunjukkan bahwa peperangan yang mereka lakukan adalah perang suci untuk membebaskan Baitul Maqdis  yaitu Yerussalem dari tangan orang Islam. Pada periode ini kemenangan berpihak pada tentara salib dan telah mengubah peta dunia Islam.[10]
Periodekedua, disebut sebagai reaksi umat Islam (tahun 1144-1192), jatuhnya beberapa wilayah Islam ketangan pasukan salib membangitkan kesadaran kaum Muslimin untuk menghimpun kekuatan yang di komando oleh Imad Al-Din Zangi, gubernur Mosul,termasuk pahlawan kaum Muslimin dalam melawan musuh kaum salib.[11] yang kemudian digantikan oleh putranya Nur Al-Din Zangi yang lebih cakap daripada ayahnya, dengan mudah ia merebut Damaskus (1147), Antiokia (1149), Edessa (1151) dan mesir (1159).[12] Keberhasilan kaum Muslimin merebut banyak kemenangan terutama setelah munculnya shalah al-Din (Salahuddin Al-Ayyubi), ia berusaha melakukan upaya kerjasama diantaranya dengan khalifah Fatimiyah, yaitu, Amir (1130) untuk mengusir musuh Islam dan kemudian berhasil membebaskan Baitul Maqdis. Dan pada bulan Februari 1193 salahuddin al-Ayyubi wafat yang sebelumnya telah menyepakati suatu perjanjian dengan kaum salib. Intinya adalah perjanjian damai yang mana daerah pedalaman menjadi milik kaum Muslimin, dan umat Kristen yang akan ziarah kemakam suci terjamin keamannya.[13]
Kejatuhan Edessa menyebabkan orang-orang Kristen mengobarkan Perang saib II. Paus Eugenius III menyerukan perang suci yang disambut positif oleh raja Prancis Louis VII dan raja Jerman Condrad II. Keduanya memimpin pasukan salib untuk merebut wilayah Kristen di Syiria. Namun mereka di hadang oleh Nur al-Zangqi. Mereka tidak berhasil memasuki Damaskus, bahkan Louis VII dan Condrad II melarikan diri kenegerinya. Setelah Nur ad-Din wafat 1174 M, pimpinan perang kemudian dipegang oleh Shalah ad-Adin (Shalahuddin al-Ayyubi) yang kemudian berhasil mendirikan dinasti Ayyubiyah di Mesir pada tahun 1175 M.
Periode ketiga ( 1189-1192), Shalahuddin Al-ayyubi berhasil mengalahkan kaum salib dan mempertahankan Baitul Maqdis, yang kemudian menggerakkan semangat yang meluap-luap di kalangan Kristen Eropa untuk merebut kembali kota suci itu. Mereka kemudian membangun angkatan Perang Salib III pada tahun 1189 M. dengan beberapa pimpinannya perangnya antara lain Kaisar Frederick Barbarosa dari Jerman, Philip Augustus dari Prancis, dan Richard Leeuwen Hart dari Inggris. Angkatan perang salib III ini berhasil merebut Akka, namun sesudah itu pasukan salib pecah, Philip berselisih dengan Richard dan Philip kembali ke Prancis.

KESIMPULAN
Dinasti Fatimiyah adalah suatu pemerintahan di bawah kekuasaan orang-orang Fatimi (keturunan Faatimah), karena pengikutnya mengambil silsilah dari Fatimah putrid Rasulullah.
Kemajuan yang terlihat pada masa khalifah Fatimiyah antara lain dipertegas beberapa factor antara lain: kepemimpinan yang bijaksana, pasukan militer yang kuat, pengelolaan administrasi kepemerintahan yang baik, ilmu pengetahuan berkembang dengan pesat dan perekonomian stabil, kehidupan masyarakat yang tentram dan damai.
Dan sebab keruntuhan dinasti Fatimiyah diantaranya adalah: banyak khilafah diangkat pada usia sangat belia, konflik kepentingan yang berkepanjangan antara pejabat dan militer dan ketidak puasan rakyat atas kebijakan pemerintah dan terjadinya persaingan memperebutkan wazir.
Perang salib merupakan perang terlama dalam sejarah dunia, yaitu peperangan yang berlangsung selama  dua abad (200 tahun), dari tahun 1095 sampai tahun 1254 M. perang salib melibatkan bangsa-bangsa beragama Kristen, yaitu Prancis, Jerman, Inggris dan Negara Bizantium, para prajurit yang terlibat mengenakan lencana salib dan pakaian mereka memiliki symbol salib di dadanya, oleh Karena itu dinamakan perang salib.
Adapun penyebab terjadinya perang salib ada dua yaitu: sebab tak langsung dan sebab langsung. Penyebab tak lansung ialah sejak wafatnya Rasulullah SAW. dimana daerah-daerah yang dikuasai nasrani telah direbut oleh pasukan Islam. Sedangkan penyebab secara langsung ialah, 1. Ditetapkannya pajak yang dirasakan menyulitkan kaum Nasrani untuk berziarah kemakam yerussalem oleh penguasa dinasti Saljuk. 2. Paus Urbanus II beserta raja-raja Nasrani di eropa bermaksud membebaskan Konstantinopel (Bizantium) dari kekuasaan Islam, serta mempersatukan kekuasaan gereja di roma dan Yunani. 3. Factor politik, agama, dan social.


DAFTAR PUSTAKA

Hitti, K. Philip, History of the Arabs, Serambi, Jakarta, 2010.
As-Suyuthi, Imam, Tarikh Khulafa’, Pustaka Al-Kautsar, Jakarta, 2006.
Bastomi, Hepi Andi, Sejarah dan Khalifah, Pustaka Al-kautsar, Jakarta, 2008.
Armstrong, Karen, Perang Suci, Serambi, Jakarta, 2003.
Harun, M. Yahya, Perang Salib dan Pengaruh Islam di Eropa, Bina Usaha, Yogyakarta, 1987.
Tim Penyusun, Ensiklopedi Nasional Indonesia, jilid 14, PT. Cipta Adi Pustak, Jakarta, 1990.







[1]  Philip K Hitti, History of the Arabs, (Jakarta: Serambi, 2010), 787.
[2]  Dinasti-dinasti lokal
[3]  Philip K Hitti, History of the Arabs, (Jakarta: Serambi, 2010), 788.
[4]  Ibid, 790.
[5]  Ibid, 798.
[6]  Ichtiar BaruVan Hove, Ensiklopedi Islam,(Jakarta: Vol. 2), 4.
[7]  Philip K Hitti, History of the Arabs, (Jakarta: Serambi, 2010), 792.
[8]  Philip K Hitti, History of the Arabs, (Jakarta: Serambi, 2010), 793.
[9]  Philip K. Hitti, History of the Arabs, (Jakarta: Serambi, 2010), 811.
[10]  Ibid. 815.
[11]  Ibid, 822.
[12]  Ibid, 824.
[13]  Ibid, 827.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar